ENERGYWORLD.CO.ID – Aspek ekonomi masih menjadi fokus yang relatif lebih besar dibandingkan aspek lingkungan dan sosial dalam proses transisi sektor energi ketenagalistrikan di Indonesia. Hal tersebut baik di tingkat kebijakan nasional, tingkat operator, dan tingkat implementasi proyek.
“Dari ketiga aspek tersebut, temuan kami menunjukkan bahwa aspek ekonomi saat ini masih mendominasi seluruh tahapan penyusunan rancangan kebijakan transisi energi, yang terutama didorong oleh nasional dengan fokus pada pemenuhan kebutuhan listrik dan target PDB demi masuk dalam kategori negara maju pada tahun 2045, kata peneliti Dala Institute Hamidah Busyrah, dalam Laporan Kajian Nexus Assessment Sektor Energi Indonesia, di kutip dari Antara, Senin.
Adapun laporan studi tersebut bertujuan untuk memaparkan bukti berbasis data dan saran strategi tentang mengimplementasikan pola pikir nexus (keterkaitan) ke dalam proses formulasi kebijakan negara di sektor ketenagalistrikan.
Kajian laporan itu menilai keterkaitan dari tiga aspek, yakni transformasi ekonomi, pelestarian lingkungan, dan inklusivitas sosial dalam visi nasional untuk transisi menuju tenaga listrik sebenarnya dengan menganalisis kebijakan, peraturan, rencana dan strategi transisi sektor energi ketenagalistrikan di tingkat kebijakan nasional, operator, dan proyek implementasi.
Adanya tujuan berbasis nexus energi di semua tingkatan tidak menjamin kebijakan dan strategi yang ada akan benar-benar direalisasikan,” ujar peneliti Dala Institute lainnya Balgis Inayah.
Laporan studi itu menunjukkan baik di tingkat kebijakan nasional, operator dan implementasi proyek, kebijakan dan sektor strategi ketenagalistrikan masih lebih fokus pada prioritas ekonomi.
Sedangkan konteks lingkungan dan sosial secara tidak langsung sering dipertimbangkan karena adanya trade-off yang kompleks, sehingga perlu meyakinkan pihak terkait untuk lebih gencar dalam mengimplementasikan transisi energi yang transformatif, berkelanjutan, dan inklusif untuk sektor ketenagalistrikan di Indonesia.
Direktur dan pendiri Dala Institute Aidy Halimanjaya menyatakan bahwa analisis politik sebelumnya menunjukkan adanya kendala serius seputar kebijakan yang sulit diprediksi dan kurangnya koordinasi antarkementerian dalam pengembangan kebijakan untuk mendukung transisi menuju energi terbarukan.
Secara khusus, kata Aidy, Indonesia telah mengalami kendala prinsipal-agen multi-segi.
Penjelasan Aidy mengacu pada bagaimana PT PLN, perusahaan listrik milik negara yang memiliki otoritas tunggal dalam mengelola transmisi dan distribusi daya listrik di Indonesia, juga mengelola berbagai kebijakan prioritas sejumlah pemangku kepentingan utama, termasuk Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Dampak dari sistem regulasi yang rumit tersebut terlihat dari pendekatan tata kelola campuran pada sektor ketenagalistrikan antara pemerintah pusat dan daerah, di mana sering terdeteksi kendala dalam menegosiasikan perjanjian pembelian tenaga listrik. Selain itu, persyaratan kepatuhan juga kerap menjadi rintangan yang signifikan bagi pengembangan proyek energi terbarukan.
Oleh karena itu, Dala Institute merekomendasikan beberapa hal dari laporan studi tersebut, di antaranya di tingkat kebijakan nasional, pemerintah perlu merancang rencana yang terperinci, praktis, dan kohesif untuk mengintegrasikan tujuan dan menghubungkan target ke dalam rangkaian pengembangan sistem energi yang sudah ada dan mencerminkannya dalam sebuah dokumen terpadu yang otoritatif.
Kemudian, secara eksplisit melawan regulasi sebelumnya yang bertentangan dan kontraproduktif, mengingat adanya momentum pergantian pemimpin politik di tahun mendatang.
Selain itu, juga diperlukan kapasitas kelembagaan pembangunan untuk mengidentifikasi masalah sistemik dan menerjemahkannya ke dalam strategi pengembangan yang dapat mengarah pada energi kebijakan reformasi dan memengaruhi mandat tata kelola.
Sementara di tingkat operator, operator tenaga listrik perlu lebih sering berkolaborasi dengan komunitas lokal dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam penerapan praktik energi berkelanjutan.
Operator juga perlu bekerja sama dengan organisasi di tingkat daerah, misalnya Asosiasi Energi Surya Indonesia untuk meningkatkan pengembangan energi terbarukan dan mempercepat penyambungan daya listrik di daerah, terutama di penugasan rendah.
Sedangkan untuk tingkat implementasi, pelaksana di akar rumput perlu merumuskan kerangka kerja pemantauan dan evaluasi berdasarkan hasil-hasil berbasis target nexus untuk memantau kemajuan dan proyek energi terbarukan.
Kerangka kerja harus mencakup metrik keinginan, namun tidak hanya fokus pada pengukuran numerik tanpa evaluasi mendalam. Personel yang terlibat juga perlu menggali praktik baik di tingkat proyek guna mengadopsi standar pengamanan dari investor/pemberi pinjaman, khususnya mengenai manajemen risiko dan rencana pemantauan jalur.
“Sudah saatnya sektor ketenagalistrikan Indonesia menjadi motor penggerak yang memicu lebih banyak dukungan dari semua pihak untuk mewujudkan transformasi ekonomi yang terintegrasi erat dengan prinsip lingkungan berkelanjutan dan inklusi sosial,” ujar Aidy. EDY/EWI