Home Event Kejanggalan dan Indikasi Pelanggaran Hukum: Rempang Eco City Wajib Batal

Kejanggalan dan Indikasi Pelanggaran Hukum: Rempang Eco City Wajib Batal

382
0

Oleh: Anthony Budiawan – Direktur Pelaksana PEPS (Ekonomi Politik dan Studi Kebijakan)

ENERGYWORLD.CO.ID  – Rempang Eco City dikebut. Kejar tayang. Sampai mencapai peraturan.

1. Proyek investasi di Rempang mulai diangkat kembali oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) pada tahun 2015. Kemudian dibahas cukup intensif selama periode 2016-2021 oleh pemerintah pusat. Apa daya, payung hukum ketika itu sangat pelik untuk bisa memberikan konsesi pengelolaan lahan satu pulau Rempang kepada investor. Sebab, status kawasan pulau Rempang seluas sekitar 17.000 hektar merupakan hutan konservasi Taman Buru, dan hutan lindung.

2. Sebagian hutan Taman Buru kemudian dialihkan menjadi hutan produksi konversi pada 6 Juni 2018. Luasnya sekitar 7.562 hektar. BP Batam berharap diberikan hak pengelolaan lahan (HPL) atas kawasan tersebut. Tujuannya, agar dapat memberikan hak pengelolaan lahan kepada investor, yaitu PT MEG.

3. Di sini timbul kejanggalan pertama. Apa dasar persetujuan atau pelepasan kawasan hutan taman buru tersebut. Apakah sudah ada hasil penelitian dari tim terpadu, sesuai ketentuan peraturan dan UU yang berlaku? Dan jika ada, bagaimana masyarakat bisa mengakses dokumen hasil rekomendasi tim terpadu tersebut? Jika tidak ada, berarti kawasan hutan tersebut ilegal.

4. Karena, pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyatakan, bahwa perubahan fungsi kawasan hutan harus berdasarkan hasil penelitian terpadu (ayat 1), dan untuk mencakup yang luas serta nilai strategi harus dengan persetujuan DPR (ayat 2). Apakah Menteri Kehutanan sudah memenuhi semua ketentuan peraturan-undangan ini?

5. Meskipun demikian, dasar hukum untuk mengubah peruntukan kawasan hutan produksi menjadi lahan komersial masih terkendala, sehingga belum dapat diberikan kepada investor, dalam hal ini PT MEG.

6. Pemerintah kemudian menerbitkan UU (Omnibus Law) No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja pada tanggal 2 November 2020. Klaster Kehutanan mengatur Penggunaan Kawasan Hutan untuk keperluan komersial, yang sebelumnya tidak bisa.

7. Pasal 38 UU Cipta Kerja memberi fasilitas untuk itu. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan (di luar kegiatan kehutanan) dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung (ayat 1), tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Luar biasa saktinya UU Cipta Kerja!

8. Asal, pembangunan di luar kegiatan kehutanan tersebut dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan yang ditandatangani Jokowi pada 2 Februari 2021. Antara lain untuk kegiatan pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (pasal 91 butir c), dan industri selain Pengolahan Hasil Hutan (pasal 91 butir i) . Peraturan Pemerintah ini sangat sakti!

9. Butir terakhir ini, pada dasarnya, menyatakan bahwa semua kegiatan industri bisa masuk ke kawasan hutan tanpa perlu mengubah fungsi pokok kawasan hutan. Asal, kegiatan tersebut mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Sakti sekali.

Apa arti tujuan strategi?

10. Kemudian, untuk kegiatan program atau proyek strategis nasional, UU Cipta Kerja membebaskan kewajiban PNBP kepada pemegang persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (Pasal 94 ayat (8) huhuf f). Maksudnya PT MEG? Luar biasa.

11. Malapetaka datang. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional (bersyarat). Kalau dalam 2 tahun tidak diperbaiki, maka akan menjadi inkonstitusional permanen. MK juga memerintahkan pemerintah untuk menangguhkan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta melarang pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja tersebut.

12. Dua tahun berlalu tanpa ada perbaikan. UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja beserta Peraturan Pelaksananya, PP 23/2021, menjadi inkonstitusional permanen per 2 November 2022. PP 23/2021 tersebut memang sudah tidak sah, karena MK melarang pemerintah mengeluarkan peraturan pelaksana.

13. Rezim Jokowi, tepatnya Jokowi, nekat. Pada 30 Desember 2022, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. PERPPU Cipta Kerja ini pada intinya sama dengan UU Cipta Kerja sebelumnya, UU No. 11/2020, yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

14. Oleh karena itu, PERPPU Cipta Kerja dapat ditetapkan sebagai pembangkangan terhadap perintah MK, dan secara otomatis melanggar konstitusi. Itu yang pertama. Selain itu, kedua, PERPPU Cipta Kerja juga melanggar konstitusi terkait dugaan rekayasa “Kondisi Kegentingan Memaksa” krisis ekonomi global, yang ternyata sampai sekarang tidak terbukti sama sekali.

15. Selain itu, pengesahan PERPPU Cipta Kerja menjadi UU No 6 Tahun 2023 oleh DPR juga cacat hukum. Oleh karena itu, PERPPU tidak disetujui oleh DPR pada konferensi DPR berikutnya setelah diterbitkannya PERPPU. DPR baru melaksanakannya pada sidang berikutnya lagi. Cacat hukum.

16. Proyek Rempang sejak itu mulai tayang. April 2023, Xinyi International Investment Limited, perusahaan China yang berbasis di Hong Kong, menyatakan minat untuk investasi pabrik kaca dan pembangkit listrik berbasis panel surya di Rempang. Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dengan sigap meluncurkan program Pengembangan Kawasan Rempang Eco City seluas 17.000 hektar, diberikan kepada pengembang tunggal, PT MEG.

17. 28 Juli 2023, Xinyi, PT MEG, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, menandatangani MOU Proyek Eco City Rempang. Disaksikan oleh Jokowi. Investasi meliputi pabrik kaca, pembangunan pabrik panel surya, pembangkit listrik berbasis panel surya (PLTS), dan ekspor listrik ke Singapura, yang tentu saja melanggar hukum. Karena swasta tidak boleh menjual listrik.

18. Untuk mempercepat proses legalitas dan kejar tayang, Airlangga Hartarto kemudian memberi status Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional pada 28 Agustus 2023. Absurd! Strategi apanya? Status Proyek Strategis Nasional rupanya hanya untuk mendapatkan izin penggunaan kawasan hutan Rempang, menggunakan UU Cipta Kerja yang terindikasi jelas melanggar konstitusi.

19. Status Strategis Nasional rupanya juga digunakan untuk mengosongkan kawasan Rempang dan mengusirnya masyarakat dari tanah leluhur mereka. Ini terjadi 5 September 2023, seminggu setelah mendapat status Proyek Strategis Nasional.

20. Pemberian status Proyek Strategis Nasional sepertinya melanggar UU Cipta Kerja itu sendiri. Pertama, Pelepasan Kawasan Hutan hanya dapat dilakukan setelah dilakukan penelitian (oleh tim) terpadu. Kedua, status Proyek Strategis Nasional hanya bisa diberikan untuk proyek Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN atau BUMD.

21. Bab X, Pasal 173 ayat (1) UU No 6 Tahun 2023: Pemerintah pusat atau pemerintah daerah …. bertanggung jawab dalam menyediakan lahan …. bagi proyek strategi nasional dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah.

22. Artinya, pemerintah tidak boleh ikut campur menyediakan lahan untuk proyek Rempang Eco City yang dikelola swasta. Apalagi sampai mengusir warga setempat. Oleh karena itu, pelepasan atau penggunaan kawasan hutan Rempang untuk proyek swasta Rempang Eco City jelas melanggar UU.

23. Pemberian lahan seluas satu pulau atau sekitar 17.000 hektar untuk satu investor Rempang Eco City juga melanggar UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang berbunyi bahwa penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan (Pasal 7), dan dipertegas bahwa pemerintah wajib mencegah adanya usaha-usaha di lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta (Pasal 13 ayat (2)). Bukannya mencegah, pemerintah malah memfasilitasi. Absurd!

24. Masyarakat Rempang didiskreditkan sebagai penduduk pembohong yang menyerobot lahan negara, sehingga boleh saja diusir, atau direlokasi secara paksa. Ternyata, kebanyakan dari mereka merupakan penduduk setempat secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.

25. Saat ini mereka belum atau belum memiliki sertifikat, namun tidak berarti mereka bukan pemilik lahan di tempat mereka. Seharusnya, secara otomatis, diberikan hak milik atas tanah yang tempatinya turun temurun, seperti bunyi Pasal 1, Bagian Kedua UUPA, hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak saat tersebut menjadi hak milik …

26. Bahwa konversi lahan menurut UUPA ini sudah melewati batas waktunya, bukan berarti hak milik masyarakat hilang dan diambil alih negara. Pemerintah seharusnya proaktif mengkonversi lahan masyarakat (adat) tersebut menjadi sertifikat. Bukan sengaja diamkan.

27. Masyarakat Adat Rempang pernah mengajukan permohonan permohonan hak atas tanah (17/09/2020) kepada Kementerian ATR/BPN, namun tidak mendapat jawaban solutif. Jawaban pemerintah mempertahankan status quo.

28. Menimbang indikasi pelanggaran-pelanggaran di atas, proyek Rempang Eco City layak dibatalkan, dan bahkan digugat. EWI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.