ENERGYWORLD.CO.ID – Kepala Divisi Kajian dan Kampanye Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) Hendrikus Adam mengatakan bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bukan solusi bagi kebutuhan pemerataan energi listrik yang murah, aman, bersih serta berkeadilan.
Dikutip dari AntaraNews, apalagi, menurutnya, hingga saat ini potensi energi terbarukan masih berlimpah dan belum dioptimalkan penggunaannya.
“Inisiatif pembangunan PLTN pada satu sisi hanya menjadi kepentingan segelintir orang yang lebih ditujukan untuk kepentingan industri, namun dikemas sebagai solusi ketahanan energi nasional,” ujar Hendrikus, di Pontianak, Kamis.
Ia mengatakan, selain pembangunannya mahal, waktu pembangunan lama dan berpotensi menciptakan ketergantungan teknologi kepada negara penyedia teknologi.
Selain itu, PLTN membutuhkan kapasitas institusi yang tinggi dan sangat baik untuk membangun, mengelola, mengawasi, serta mengurus limbah dan menangani setelah tutup.
Jadi tentu tidak sesederhana yang dibayangkan, dan dengan demikian risikonya juga jauh lebih besar dan berbahaya untuk jangka panjang yang tidak layak diwariskan pada generasi mendatang, katanya pula.
“Hingga saat ini, energi terbarukan masih belum menjadi fokus serius untuk dikembangkan pemerintah, termasuk di Kalbar. Padahal, penggunaan energi ini akan lebih baik, ramah, dan aman karena memiliki potensi risiko yang kecil bila dibandingkan penggunaan energi fosil maupun penggunaan sumber energi berbahaya melalui PLTN, terlebih bila kemudian terjadi gagal teknologi dan kecelakaan fatal yang kemudian dialami,” kata dia lagi.
Menurut dia pula, rencana pembangunan PLTN di Kalbar maupun di Indonesia pada umumnya tidak diinformasikan dengan jujur, utuh dan berimbang kepada publik. Bahkan informasi yang disampaikan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan para promotor PLTN lainnya justru mengandung sesat pikir juga kebohongan publik.
“Ancaman krisis energi di masa depan mestinya dapat diatasi dengan memanfaatkan secara maksimal potensi energi terbarukan yang dimiliki disertai efisiensi energi di segala lini. Sesat pikir paling krusial juga terlihat ketika energi nuklir dianggap sebagai bagian dari energi terbarukan oleh promotor PLTN,” kata dia.
Ia mengatakan seperti halnya makanan, sumber energi nuklir berbahan uranium bukan satu-satunya pilihan menu santapan yang mau tidak mau harus dinikmati. Ada banyak pilihan makanan yang lebih prioritas, lebih baik, aman, sehat dan berkelanjutan dari alam yang perlu dikelola dan optimalkan.
Pembangunan PLTN mestinya bukan pilihan mendesak di tengah alpanya upaya untuk mengoptimalkan sumber energi terbarukan yang melimpah. Hanya saja anehnya, alih-alih akan mengoptimalkan potensi energi terbarukan, bahan mentah sumber energi listrik seperti batu bara misalnya, lebih banyak yang diekspor ketimbang dipakai sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” ujar dia lagi.
Dia mengatakan pula, pembangunan nuclear small modular reactor di Bengkayang bahwa PLTN sangat berbahaya dan teknologi ini tidak mungkin dianggap main-main, karena penggunaan energi ini bukan alih teknologi, namun lebih berorientasi proyek.
Oleh sebab itu bahwa PLTN bukan solusi yang diinginkan di tengah belum optimalnya energi terbarukan selama ini. Namun jika tetap akan dipaksakan, maka silakan dirikan saja tapak PLTN di samping rumah tinggal para promotor PLTN.
“Untuk dapat menghentikan rencana pendirian PLTN di Kalbar, agar tidak melahirkan potensi risiko bencana dan momok bagi generasi mendatang mestinya jadi perhatian untuk menjawab pemenuhan kebutuhan energi masa depan yang murah, aman, bersih dan berkeadilan,” kata dia lagi. EWI