Home Kolom Distorsi Pembangunan Ekonomi Pemerintahan Joko Widodo

Distorsi Pembangunan Ekonomi Pemerintahan Joko Widodo

178
0

tas 2

Oleh: Anthony Budiawan
Direktur Pelaksana PEPS (Ekonomi Politik dan Kajian Kebijakan

Kesenjangan Realisasi versus Janji Kampanye

ENERGYWORLD – Sistem konstitusi Indonesia setelah amandemen sebanyak empat kali selama
periode 1999-2002 menghasilkan sistem presidensiil yang tidak bertanggung jawab. Sebab, amandemen konstitusi telah menghapus mekanisme pertanggungjawaban presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga tidak ada lagi evaluasi terhadap kinerja presiden serta realisasi ekonomi terhadap janji kampanye.
Sebaliknya, banyak kebijakan ekonomi politik yang diambil Jokowi sebagai presiden yang diambil secara ad hoc menyimpang dari janji kampanye. Pada tahun pertama, tim ekonomi Joko Widodo langsung menggebrak dengan menerbitkan berbagai paket
kebijakan ekonomi hingga enam belas jilid. Mayoritas dari paket kebijakan ekonomi tersebut terkait pemberian stimulus (baca: kenikmatan) ekonomi kepada pengusaha untuk meningkatkan investasi dan lapangan kerja, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen sesuai janji kampanye.

Artinya, sebagian besar dari enam belas jilid paket kebijakan ekonomi tersebut
tidak terkait langsung dengan janji kampanye, sehingga terkesan paket
kebijakan ekonomi tersebut sebagai kebijakan coba-coba, bukan kebijakan
berdasarkan analisis fundamental pembangunan ekonomi politik secara terstruktur.

Puncak kebijakan ekonomi politik yang diinisiasi pada tahun pertama Jokowi
adalah undang-undang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) No 11 tahun 2016,
yang diundangkan pada 1 Juli 2016 untuk periode 1 Juli 2016 hingga 31 Maret
2017.

Tujuan utama paket kebijakan ekonomi dan UU Pengampunan Pajak untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak tercapai. Bahkan target yang
ditetapkan ketika sosialisasi UU Pengampunan Pajak meleset jauh. Target pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, dan rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) tidak tercapai.

Pertumbuhan ekonomi periode 2015-2019 hanya mencapai rata-rata 5 persen per tahun, jauh lebih rendah dari janji kampanye sebesar 7 persen. Sedangkan kurs rupiah yang diperkirakan akan menguat hingga di bawah Rp10.000 per dolar AS juga tidak terbukti. Sebaliknya, kurs rupiah sepanjang periode pertama Jokowi melemah dari sekitar Rp12.000 per dolar AS ketika dilantik menjadi lebih rendah dari Rp15.000 per dolar AS pada Oktober 2018.

Selain itu, program Tax Amnesty yang seharusnya menyasar uang ilegal yang
disimpan di luar negeri agar masuk kembali ke Indonesia justru terletak penduduk di negeri yang diwajibkan melaporkan hartanya yang belum dilaporkan kepada instansi pajak, termasuk rumah tinggal. Realisasi repatriasi harta dari luar negeri hanya Rp46 triliun, jauh lebih rendah dari target Rp1.000 triliun.

Program Tax Amnesty juga gagal membuat rasio Penerimaan Pajak (terhadap PDB) naik dari 11,4 persen pada tahun 2014 menjadi 14,6 persen pada tahun 2019. Sebaliknya, rasio Penerimaan Pajak malah terus turun menjadi 9,8 persen pada akhir tahun 2019. Tax Amnesty hanya menguntungkan pengusaha yang mempunyai uang ilegal, yang kemudian diputihkan dengan membayar uang tebusan antara 2 hingga 5 persen untuk repatriasi harta dari luar negeri ke dalam negeri, atau 4 hingga 10 persen untuk menyatakan harta yang berada di luar negeri.

Ironinya, kegagalan kebijakan ekonomi politik pemerintah, dalam hal ini presiden, seperti Tax Amnesty, mobil nasional Esemka, atau janji-janji kampanye lainnya yang terbukti gagal, tidak membawa konsekuensi apapun terhadap kedudukan presiden, sehingga yang bersangkutan bisa memilihnya memberi janji kosong, termasuk
membuat undang-undang yang kemudian terbukti merugikan
masyarakat dan ekonomi secara nasional. ***

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.