”Kabinet Rasa Politik atau Profesional? Menagih Arsitektur Kelembagaan Efektif”
ENERGYWORLD.CO.ID – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menggelar Diskusi Publik dengan mengangkat tema “Kabinet Rasa Politik atau Profesional? Menagih Arsitektur Kelembagaan Efektif” pada Rabu (1/5/2024).
Pembicara pada diskusi itu antaralain:
1. Dr Imaduddin abdullah (Ekonom/Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development, INDEF).
2. Tauhid Ahmad (Ekonom Senior INDEF)
3. Andry Satrio Nugroho (Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF)
4. Didik J Rachbini (Indef)
Ekonom dan Peneliti Center of Food, Dr Imaduddin Abdullah, menyoroti beberapa indikator ekonomi Indonesia yang masih tertinggal dibanding negara lain.
“Beberapa indikator ekonomi Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain, misalnya segi produktivitas dari nilai tambah dibagi pekerja Indonesia masih tertinggal di bawah negara lain seperti Malaysia. Produktivitas sektor industri kita justru di bawah negara berpendapatan menengah, dan selevel dengan negara low midle income,” kata Imaduddin.
Menurut Imaduddin daya saing sektor manufaktur juga rendah, dengan indikator Review Component Advantage (RCA). RCA =1 dianggap memiliki comparative advantage dibanding negara-negara lain. Pada tahun 2000 Indonesia masih selevel dengan Vietnam tapi RCA Indonesia ternyata masih di bawah 1 yang berarti daya saing ekspor terbilang rendah.
Di bidang Green Opportunities dan Hilirisasi Industri, Intensitas negara-negara maju untuk mengintervensi sektor industrinya semakin kuat terutama bagi mineral dan produk-produk turunannya. Hilirisasi Indonesia di sektor mineral akan semakin mendapat resistensi dan persaingan semakin kuat dari negara-negara maju. Karenanya, dibutuhkan kabinet yang tidak hanya capable, tapi juga memiliki akuntabilitas dan respon yang kuat.
China sukses karena mempunyai pre kondisi yang kuat, dan memiliki respon pemerintah yang juga kuat. India yang juga punya pre kondisi kuat tapi tidak memiliki respon pemerintah yang kuat pada akhirnya kehilangan peluang tersebut.
“Di bidang tantangan ekonomi politik domestik, terdapat 3 faktor berpengaruh yakni Tekanan Internasional, Kepentingan elit dan Keterlibatan Masyarakat. Aspek keterlitaban masyarakat, indikator demokrasi mempunyai pengaruh yang kuat bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Andry Satrio Nugroho (Kepala Center of Industry, Trade, and Investment, INDEF) mengatakan, secara efektivitas, tata kelola pemerintahan Indonesia dibanding negara ASEAN lain berada di ranking kedua terendah. Padahal, Institusi dan tata kelola yang baik akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Efektivitas pemerintahan juga secara signifikan memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, susunan kabinet akan menjadi cerminan seberapa efektif pemerintahan akan dijalankan.
Kenapa pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun belakangan ini terus mengalami stagnasi, bisa jadi salah satu alasannya karena minimnya efektivitas tata kelola pemerintahan yang berdampak terhadap capaian target pertumbuhan ekonomi.
Kabinet koalisi yang besar, memang akan menguntungkan bagi presiden terpilih untuk memperlancar program-programnya. Tetapi itu juga indikasi akan lumpuhnya check and balances di parlemen. Backsliding democracy antara lain tercipta dari tiadanya resistensi parlemen terhadap segala kebijakan eksekutif.
Dukungan koalisi yang besar juga otomatis akan menciptakan kabinet yang besa dan karenanya, membutuhkan ruang fiskal yang lebih besar.
Kabinet Prabowo – Gibran kemungkinan akan didominasi oleh politisi:
-Politisi dapat memegang Kementerian non-ekonomi agar kepercayaan pasar dan pelaku usaha tetap terjaga
-Komposisi koalisi perlu terjaga hingga akhir periode
Pasangan Prabowo – Gibran akan membuat Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan memecah Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan, maka perlu memperhatikan:
-Waktu penyesuaian yang harus dilakukan secara cepat.
-Dikelola dan dipimpin secara profesional oleh mereka yang mengerti penerimaan negara.
-Meninjau kembali badan otonom serupa yang saat ini diisi oleh politisi yang sering kali tidak efektif.
Pembicara Tauhid Ahmad (Ekonom Senior INDEF) mengatakan untuk menyusun arah kebijakan pemerintahan, harus melihat apa yang akan terjadi di depan. Ada beberapa peluang, namun tahun 2025 juga masih ada stagnasi ekonomi global 3,1-3,2%. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju mitra dagang Indonesia juga belum tumbuh signifikan, di mana USA alami penurunan ekonomi. Eskalasi di Timur Tengah masih terus dipantau pengaruhnya terhadap situasi ekonomi global.
“Siapapun yang akan jadi menteri diperkirakan kebingungan, jika tidak bisa mendinamisir situasi ekonomi di tengah sukubunga global yang masih relatif tinggi (The Fed). Itu akan berpengaruh besar terhadap suku bunga dalam negeri dan nilai tukar,” kata Tauhid Ahmad.
Beberapa tren komoditas domestik agak membaik seperti batubara yang alami kenaikan harga, begitu pula minyak sawit, minyak mentah. Tetapi nikel justru turun harga. Hal-hal itu adalah tantangan bagi sosok menteri ekonomi kelak.
Tidak ada satupun lembaga di dunia yang sesuai dengan target pertumbuhan ekonomi presiden terpilih Indonesia, bahwa target pertumbuhan 2025 ditetapkan capai 6 – 7%. Lembaga dunia menaksir pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 paling tinggi sekira 5,2%. Tantangan bagi kabinet terpilih khususnya menteri-menteri ekonomi adalah bagaimana menaikkan kinerja pertumbuhan ekonomi agar melebihi target pertumbuhan yang telah diprediksi oleh lembaga-lembaga dunia.
Pembicara Prof Dr Didik J Rachbini menyoroti perilaku budget maximizer akut.
Ditinjau dari perilaku politik kita terjebak ke dalam perilaku budget maximizer akut. Perilaku itu sebenarnya wajar jika seorang politisi terpilih maka dia pasti akan memaksimumkan budget dalam mensejahteraan konstituennya (teori rasional choice ; ekonomi politik)
Dalam pasar yang sehat, ekonomi akan tumbuh disertai inovasi yang berkembang. Tapi dalam pasar yang sakit, akan tejadi berbagai masalah kesenjangan ekonomi, kemiskinan, social chaos, dll.
Perilaku budget maximizer akan terjadi pada situasi politik Indonesia yang mengalami backsliding democracy akut. Akibatnya, check and balances lumpuh di masa Jokowi. Apakah situasi itu berlanjut ke depan? Jika koalisi kekuasaan kembali ke angka 80% menguasai parlemen, maka political market tidak akan sehat. Akan kembali muncul politisi demagog, yang mementingkan dirinya sendiri.
“Perilaku politisi demagog, di antaranya menteri-menteri dari partai politik cenderung akan menggunakan kekuasaannya menjadi predator anggaran,” tegas Didik. EDY/Ewindo