Masihkah Indonesia Mampu Impor Transisi Energi
Oleh : Salamuddin Daeng
Transisi energi telah menjadi kewajiban pemerintah menurut perjanjian perubahan iklim UNFCCC yang telah ditandatangi pemerintah dan telah diratifikasi dan disyahkan menjadi UU. Indonesia harus mencapai net zero emission pada tahun 2060. Jika tidak dijalankan maka dipastikan Indonesia akan diisolasi dalam perdagangan internasional, sulit mendapat dana murah, terkena banyak kewajiban pajak tinggi dalam perdagangan internasional dan beban lainnya.
Masalahnya sekarang adalah untuk transisi energi butuh dana besar untuk membeli peralatan dan barang impor dalam bidang transisi energi. Belum ada peralatan yang diperlukan dalam transisi energi yang saat ini diperdagangkan secara internasional sudah dapat dihasilkan di dalam negeri. Sebagian besar keperluan tersebut harus diimpor dari negara negara industri. Mulai dari pelatan listrik, pembangkit ramah lingkungan, sampai dengan kendaraan listrik hingga peralatan rumah tangga ramah lingkungan, sebagian besar harus diimpor.
Sementara Indonesia boleh dikatakan sudah kehabisan banyak uang untuk mengimpor energi dan pelalatannya yang dikatakan sebagai energi kotor saat ini. Jadi jika indonesia harus mengimpor energi dan pelatanan energi bersih sementara impor energi kotornya masih sangat besar, maka defisit neraca transaksi berjalan akan semakin melebar. Uang negara Indonesia akan terkuras habis habisan.
Sebagaimana diketahui dari seluruh komoditas impor Indonesia, ada dua komoditas impor yang paling besar yang menjadi sumber utama defisit neraca transaksi berjalan yakni impor peralatan listrik dan impor minyak dan gas. Keduanya cenderung meningkat dan sulit sekali dikendalikan. walaupun ada isue perubahan iklim impor migas dan peralatan listrik cenderung meningkat.
Menurut data Bank Indonesia impor migas adalah jejeran komoditas yang nilai impornya paling besar dalam lima tahun terakhir. Tahun 2019 impor migas mencapai 22,3 miliar dolar, tahun 2020 13,9 miliar dolar, tahun 2021 26,2 miliar dolar, tahun 2022 meningkat drastis dua kali lipat dari biasanya yakni 41,9 miliar dolar, dan tahun 2023 sebesar 36,3 miliar dolar. Jika melihat data di atas sangat sulit bagi Indonesia lepas dari ketergantungan migas. Negara ini telah mengeluarkan uang senilai 2107,4 triliun rupiah untuk mengimpor migas. Bayangkan jika sepertiga dari uang itu digunakan membiayai transisi energi?
Impor peralatan listrik juga demikian tidak kalah besarnya, dalam periode yang sama (2019-2023) impor peralatan listrik masing masing 21,3 miliar dolar, 20,04 miliar dolar, 23,8 miliar dolar, 28,3 miliar dolar dan 27,5 miliar dolar. dalam lima tahun impor peralatan listrik mencapai 1811,7 triliun rupiah.
Indonesia telah kehilangan banyak uang untuk membiayai energi kotor dan harus membiayai kembali impor energi bersih sementara impor energi kotornya belum bisa diakhiri atau malah cenderung mengalami peningkatan. Ini tentu membutuhkan solusi yang jitu menghadapi tahun tahun mendatang yang makin berat seiring peraturan internasional yang semakin memperketat ruang gerak energi kotor baik dalam investasi, keuangan, perdangan dan larangan penggunaan anggaran negara untuk memperbesar kapasitas energi kotor. Solusi jitu jalan keluarnya.