Jika KPK Yakin Benar Karen Bersalah, Bisa Perintahkan Pertamina Tidak Bayar 5,5 Kargo LNG ke Corpus Cristi
ENERGYWORLD.CO.ID – Polemik panjang terus bergulir di tengah masyarakat setelah Majelis Hakim Tipikor Jakarta pada 24 Juni 2024 menjatuhan vonis 9 tahun penjara terhadap mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan atas dakwaan JPU dari KPK.
“Vonis tersebut tidak saja mengguncangkan Karen beserta keluarganya, tetapi telah berdampak luas terhadap hampir seluruh direksi BUMN yang sedang menjabat, yaitu ketika mengambil langkah aksi korporasi berupa kontrak jual beli komoditas energi jangka panjang tapi mengalami rugi sesaat akibat hal di luar dugaan saat berkontrak, bisa berpotensi terjerat pidana korupsi,” ungkap Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Sabtu (27/7/2024).
Pasalnya, kata Yusri, menurut fakta persidangan, Karen didakwa atas kebijakannya membuat Sales Purchace Agreement (SPA) 2013 dan 2014 yang katanya membuat Pertamina mengalami kerugian penjualan kargo LNG dari Corpus Cristi Liquefaction (CCL) pada tahun 2020 dan 2021 sebesar USD 113,84 juta atau setara sekitar Rp 1,8 trilun.
“Akan tetapi dari fakta persidangan PN Tipikor Jakarta terhadap Karen, terungkap realisasi kargo LNG mulai tahun 2019 hingga tahun 2039 adalah berdasarkan SPA 2015 yang ditanda tangani di era Dwi Soetjipto menjabat Dirut Pertamina,” kata Yusri.
Malah, lanjut Yusri, realisasi semua kargo LNG CCL berdasarkan SPA 2015 itu ternyata terjadinya di era Nicke Widyawati menjabat Dirut Pertamina.
“Sementara isi pasal-pasal dari SPA 2013 dan SPA 2014 era Karen telah diubah, dihilangkan dan ditambahkan pasal-pasal baru di SPA 2015 di era Dwi Soetjipto,” kata Yusri.
Oleh sebab itu, lanjut Yusri, menjadi tanda tanya besar mengapa Majelis Hakim Tipikor Jakarta saat itu tidak berhasil menghadirkan Dwi Soetjipto dan Nicke Widyawati di dalam persidangan Karen Agustiawan untuk bisa dikonfrontir keterangannya sesama mereka agar terungkap jelas konstruksi proses bisnisnya dan siapa yang harus bertanggung jawab jika katanya rugi?
“Sebab, menurut Karen Agustiawan dalam rilis media resmi pada 12 Januari 2024, dia mengatakan telah menyampaikan kepada Penyidik KPK bahwa per Desember 2023, pengadaan LNG CCL telah menghasilkan keuntungan bagi Pertamina sebesar USD 91.617.941 atau setara Rp 1,425 triliun. Jadi, kata Karen, tidak ada kerugian sebagaimana dituduhkan KPK kepada dia, justru malah untung,” ungkap Yusri.
Sehingga, kata Yusri, langkah KPK setelah vonis Karen yang akan mengejar pengembalian kerugian negara di kasus LNG Corpus Christi Liquefaction, LLC (CCL) dan PT Pertamina (Persero), tidak sia-sia.
“Jika KPK yakin hasil audit LHPI BPK bahwa ada kerugian negara sebesar USD 113,84 juta atau setara sekitar Rp 1,8 triliun, maka kami sarankan KPK bisa melakukan upaya paksa dengan menyurati Pertamina untuk tidak membayar invoice sekitar 5,5 kargo LNG ke Corpus Cristi, lantaran setiap tahun CCL mensuplai Pertamina 18 kargo LNG hingga tahun 2039,” ungkap Yusri.
Dikatakan Yusri, hal itu lantaran volume 1 kargo LNG volumenya 3,5 juta MMBTU dan asumsi harga LNG Cheniere adalah USD 6 per MMBTU, jadi jika ditotal 3,5 juta MMBTU× USD 6 × 5,5 kargo menjadi USD 115,5 juta.
“Seperti halnya KPK pernah kami dengar dari wartawan telah merekomendasi Pertamina Holding pada sekitar September 2022 agar tidak menyerahkan 6 kargo LNG portofolio Pertamina dari Woodside kepada PT PGN Tbk yang terlanjur terikat kontrak dengan Gunvor Ltd Singapore,” kata Yusri.
Sebab sebelumnya, lanjut Yusri, menurut Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu kepada media pada 17 Juli 2024 di kantor KPK, pihak KPK akan mengejar CCL dan meminta mereka menyerahkan uang pengganti. KPK pun mengklaim sudah melakukan komunikasi dengan aparat penegak hukum di Amerika Serikat.
“Kita sebetulnya lebih fokus kepada bagaimana mengembalikan kerugian keuangan negara untuk asset recovery-nya. Supaya kita bisa mengambil uang negara yang keluar akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan,” ujar Asep Guntur Rahayu kala itu.
Namun, kata Yusri, CERI sependapat dengan praktisi hukum kondang Dr Augustinus Hutajalu S.H, C.N, M.Hum dikutip media Indonesiawatch.id edisi 22 Juli 2024 yang mengatakan, “Persoalannya selama pemeriksaan saksi dan proses pengadilan, pihak CCL tidak pernah dihadirkan. Corpus tidak pernah didengar di persidangan. Dan dia (Corpus) tidak terdakwa. Dia (Corpus) tidak terikat pada putusan perkara kita.”
Menurut Augustinus, KPK bisa mengejar uang pengganti ke CCL, jika pengadilan AS juga mengadili CCL. “Itu bisa jika AS sebut dia (CCL) korupsi juga. Dia diadili di AS sana, dia dinyatakan korupsi. Baru bisa. Ini kan tidak. Jadi saksi pun tidak, sepanjang yang saya tahu,” katanya.
Augustinus juga mengatakan bahwa, harusnya penyidik dapat memintai keterangan pihak Corpus. Karena penyidik sudah dua kali berangkat ke AS.
Pada 2023 lalu misalnya, penyidik KPK ke Amerika Serikat bahkan bersama pegawai Pertamina. Mereka hendak menemui CCL. Sayangnya KPK tidak berhasil menemui CCL dan meminta keterangannya.
Di sisi lain, Augustinus menilai, saat ini kasus LNG belum berstatus inkracht van gewijsde. “Artinya, putusan pengadilan tinggi masih bisa berubah. Sampai putusan kasasi. Kalau dia kasasi. Siapa tahu dia bebas,” ujarnya.
Augustinus meyakini pihak CCL juga tidak akan mungkin memberikan triliunan rupiah kepada Indonesia. Pasalnya, yang dianggap uang pengganti oleh Hakim, adalah keuntungan secara bisnis bagi Corpus.
“Apa iya mau, Corpus Christi mau merugikan dirinya? Bagi saya itu, ini nggak masuk akal. Masa Corpus disuruh mengembalikan keuntungannya. Ini bisnis kok. Kecuali corpus-nya mau charity,” katanya.
Menurutnya, jika KPK ngotot meminta uang pengganti, bisa jadi Corpus memutus kontrak dengan Pertamina. Dampaknya bisa merugikan Pertamina, karena Pertamina sudah memiliki kontrak pembeli LNG Corpus setidaknya hingga tahun 2030.
“Bisa juga Corpus putuskan kontrak. Kalau dia dibuat repot dan dikejar-kejar terus, dia putuskan kontraknya” ujar Augustinus. (CERI).**