DIKIRA TAMBANG EMAS PADAHAL ULAR
Oleh M Rizal Fadillah
Akhirnya selesailah acara Konsolidasi Nasional Muhammadiyah dengan keputusan yang tidak mantap, dalam arti bernuansa ragu. Ragu antara mengetahui pertambangan di Indonesia yang merusak lingkungan dan rawan konflik dengan pengelolaan tambang “Islami” yang ingin dicoba sebaliknya. Ragu antara kemampuan Muhammadiyah dengan SDM yang dimiliki dengan iklim pengelolaan tambang penuh dengan penyimpangan norma dan rawan korupsi.
Keraguan itu yang menyebabkan pilihannya adalah coba-coba. Dikerjakan dulu, nanti jika tidak mampu atau terlalu banyak kendala, maka Muhammadiyah akan mengembalikan Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada Pemerintah. Ini cara memilih dan menyikapi yang tidak bagus.
Jika PP Muhammadiyah mengambil keputusan seperti ini seharusnya dibarengi dengan kesiapan mundur jika mengalami kegagalan.
Penerimaan tawaran usaha pertambangan jelas memancing fitnah. Ini bukan persoalan PP dan PWM sebagai peserta Konsolidasi Nasional semata tetapi Daerah, Cabang Ranting dan kader-kader di bawah. Betapa sulit dan beratnya “orang-orang bawah” menghadapi fitnah Muhammadiyah akibat pilihan tidak bijak, takut dan coba-coba. Bukanlah hal yang lazim diMuhammadiyah dalam mengambil keputusan.
Pada sisi lain “Konsolidasi Nasional” tidak termasuk lembaga permusyawaratan yang ada dalam AD/ART Muhammadiyah. Karenanya sebenarnya tidak berhak mengambil keputusan strategi. Mungkin ini yang menyebabkan munculnya usulan agar Tanwir segera diadakan untuk menetapkan masalah sepenting dan segenting ini. Muhammadiyah tengah dibawa ke ruang pertaruhan.
Kader bukan tidak “sami’na wa atho’na” kepada PP tapi koreksi “amar ma’ruf nahi munkar” bahwa PP Muhammadiyah berpikir sedang melakukan penyesuaian dan tidak ajeg dalam mengemban amanah. Masukan berbagai pihak nampaknya tidak didengar dan didalami perhatian, lebih pada formalitas untuk keputusan yang sudah dicanangkan.
Suara sumbang atas keputusan Konsolidasi Nasional bermunculan. Muhammadiyah menjadi topik pembicaraan yang tidak konstruktif bahkan cenderung negatif. Sulit meredakan kontra. Kontroversi berkonsekuensi pada cercaan, sementara pembuktian sukses bermain tambang itu membutuhkan waktu. Kerusakan yang mendahului pembuktian.
Sikap tidak istiqomah menghadapi godaan jelas bertentangan dengan khitrah perjuangan dan kepribadian Muhammadiyah. Dalih menepis pengaruh Pemerintah tidak sejalan dengan penetapan Prof Muhajir sebagai Ketua Tim. Benar ia adalah salah satu Ketua PP Muhammadiyah tetapi semua juga tahu bahwa Menko Jokowi ini “kepanjangan tangan” dari kepentingan Jokowi.
Saatnya PP Muhammadiyah introspeksi akan kekeliruan langkah. Masalah besar di depan sedang bersiap untuk datang berselancar bersama tambang.
Terlalu murah Organisasi Keagamaan sebesar Muhammadiyah harus berkubang lumpur dalam galian tambang hitam batubara.
Arogansi adalah pintu gerbang dari era kegelapan. Sayangnya PP Muhammadiyah kurang waspada.
Tidak ada kemashlahatan umat pada pengelolaan tambang. Dikira tambang itu emas padahal ular.
Kejahilan terkadang berbingkai kepandaian. Berkemunduran disebut berkemajuan.
Ketika Muhammadiyah merasa kaya, maka saat itu sesungguhnya ia miskin.
Tambang penjerat dikira booster. Emas pun berubah menjadi ular.
Aneh jika sekelas PP Muhammadiyah tidak sadar.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 29 Juli 2024