KEBIJAKAN SALAH KAPRAH MENGEMBANGKAN PERKEBUNAN SAWIT SWASTA (ASING)
Oleh Memet Hakim
Dosen LB Universitas Padjadjaran
Wanhat Aliansi Profesional Indonesia Bangkit & APP-TNI
Tahun 1973 luas kebun kelapa sawit nasional sekitar 260.000 ha, hampir seluruhnya milik Perkebunan Negara. Sekarang (2021) luas areal mencapai 15.08 juta ha , bahkan tahun 2024 lhasil audit, luasnya menjadi 16.8 ha. Luas land bank yang telah ada ijin usaha dan HGU nya diperkirakan tersedia 3,2 juta ha, sehingga total areal kelapa sawit dapat dipacu sampai 20 juta ha. Saat ini proporsi luasnya menjadi terbalik Perkebunan Negara hanya ada 3.84 %, PR (Perkebunan Rakyat) 40.34 % dan PBS 55.8 %. PTPN seolah dibikin bonzai oleh pemiliknya sendiri, Perkebunan Swasta terutama Asing dibuat berkembang. Uraian sbb.:
Kebijakan ini jelas salah kaprah dan arahnya semakin jauh dari nilai-nilai yang terkandung pada UUD45. Seharusnya Perkebunan kelapa sawit ini dikuasai oleh negara sepenuhnya karena terkait penggunaan lahan (Bumi & Air), minimal Perusahaan Sawsta dan Swasta Asing memberikan Royalti seperti halnya eksporasi minyak di Pertamina.
Dari daftar diatas terlihat jelas betapa banyak dana hasil usaha perkebunan lebih dari separuhnya yang dibawa ke LN. Persis seperti jaman Belanda tempo dulu. Artinya memberikan ijin pada Perusahaan asing merupakan proses pemiskinan Indonesia. Ini merupakan pelanggaran terhadap UUD45, khususnya Pasal 33. Minimal mereka harus membayar royalty sebesar 65 % misalnya.
Jika Perkebunan Negara setiap tahunnya membagikan dividen utk negara antara 30-50% dari Labanya, sedang PT swasta asing membawa seluruh labanya ke LN. Artinya PBN memperkaya Negara sedang PBS justru merugikan negara, krn seluruh labanya dibawa oleh pemiliknya. Buat PBS Asing lebih parah lagi seluruh laba di bawa ke LN. Pengenaan royalty bagi Perusahaan Swasta dan Swasta Asing adalah suatu keharusan.
“Perkebunan rakyat” mulai dikembangkan tahun 1973 oleh pemerintah dengan menunjuk PBN sebagai inti dan Perkebunan Rakyat atau petani sebagai plasma. Biaya disiapkan oleh Bank Dunia. Pola PIR ini merupakan program yang efektif dan berhasil serta sesuai dengan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam UUD45.
Pengembangan spektakuler PBS atau kebun kelapa sawit swasta ini tidak lepas dari andil perbankan negara dan juga pemerintah juga. Inilah ironi pembangunan perkebunan. Salah kaprah Pembangunan ini dimulai dari sini.
Dalam organisasi PBN semua unit kerjanya masuk dalam satu perusahaan saja sehingga pembayaran PPN dari Laba Usaha akan lebih tinggi. Di PBS semua unit usahanya memiliki Badan Hukum tersendiri, sehingga pembayaran pajaknya lebih sedikit. Dari sini saja sudah terlihat niat tidak baik para pemilik usaha PBS.
Hasil perhitungan diatas kertas tiap tahun laba usaha dari PBS ini sekitar 400-500 trilyun mengalir ke LN. Seandainya dana itu berputar di DN tentu banyak dampak multiflyer effect nya lumayan besar, apalagi jika dana tersebut menjadi milik pemerintah bisa digunakan untuk kebutuhan yang lebih strategis.
Ada 2 solusi untuk memperbaiki kondisi ini yakni :
- Memberlakukan Production Sharing Contract atau Profit Sharing Contract seperti halnya di dalam explotasi minyak bumi dengan perbandingan Negara : Perusahaan Perkebunan 50 : 50 atau sampai 65:35 pada seluruh Perkebunan Asing. Bagian terbesar untuk Negara dan bagian terkecil untuk Perusahaan.
- Pelakukan Pembatasan Luas areal Perkebunan Asing maksimal 5 % dari total luas areal sebagai pedoman untuk Perkebunan swasta asing, dan selebihnya harus diberikan kepada PTPN dengan kompensasi seluruh asset itu dibayar sesuai nilai nya dari realisasi Laba Usaha.
- Perkebunan Swasta Nasional juga dibatasi maksimal seluas 5 % dari total luas perkebunan di Indonesia selebihnya diterapkan pola yang sama, selebihnya diberikan kepada Perkebunan BUMN.
- Dengan demikian luas Perkebunan Kelapa sawit milik Negara akan dominan sekitar 50 %, Perkebunan swasta asing 5 %, Perkebunan swasta Nasional 5% dan Perkebunan Rakyat 40 %. Dengan demikian pasokan dana ke kas Negara semakin besar.
- Perkebunan Rakyat justru harus dipelihara dan dibimbing bahkan dikembangkan kembali supaya semakin hasilnya baik. Dengan cara ini kesejahteraan petani kelapa sawit akan semakin baik.
Kesempatan mengembangkan PBN masih terbuka lebar, ada beberapa pilihan yg dapat dilaksanakan, akan tetapi semua tergantung pada “kemauan politik pemerintah sendiri”. Hal ini serupa dengan yang terjadi dibidang lainnya seperti Kehutanan, Kelautan, tetapi yang terbesar justru ada di bidang Pertambangan, semuanya menggunakan Bumi, Tanah dan Air yang seharusnya dapat dikuasasi oleh Negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan keinginan Prabowo presiden terpilih yang ingin mensejahterakan rakyatnya dan membangun negeri, semoga.
Bandung 18.09.2024