Mengecer Avtur di Bandara
Oleh Salamuddin Daeng
POLEMIK harga avtur menjadi perdebatan keras antara Pertamina Patra Niaga dan pemerintah. Pemerintah menuding harga avtur yang tinggi membuat penerbangan dalam negeri sepi. Harga tinggi memaksa maskapai menaikkan harga tiket pesawat komersial. Harga tinggi tiket pesawat membuat orang malas terbang
Pertamina Patra Niaga tidak mau disalahkan. Banyak komentar yang membandingkan harga avtur di Indonesia dengan Singapura dan negara ASEAN lain. Alhasil perdebatan antara pemerintah dan Pertamina menemui jalan buntu; tak ada yang mengalah.
Kelihatanya harga avtur yang mahal disebabkan oleh banyak faktor nonekonomi, namun juga banyak masalah politik. Ada yang mengatakan bahwa tidak ada pesaing dalam penjualan avtur sehingga tidak dapat diukur siapa yang paling efisien. Pasar tidak tahu harga avtur Indonesia mahal atau tidak? Tak ada pembanding.
Pemerintah sendiri mungkin melihat bahwa keadaan ekonomi nasional mengalami deflasi, atau penurunan harga, secara umum. Kondisi ini merupakan cerminan dari daya beli yang melemah dalam empat bulan terakhir selama 2024. Kalau harga transportasi mahal, termasuk harga tiket pesawat, yang notabene merupakan kebutuhan dasar penduduk, maka ekonomi makin melemah. Ekonomi menghadapi daya tekan kuat, bukan memperoleh daya ungkit. Sementara dari sisi Pertamina Patra Niaga sendiri mungkin beranggapan banyak faktor pembentuk harga. Di antaranya pajak, pungutan, terutama sekali rantai distribusi panjang dari kilang ke perusahaan pengangkutan, hingga distributor dan akhirnya ke konsumen. Semenjak diberlakukan holding sub holding di Pertamina, masing-masing lini usaha berusaha mendapatkan margin sendiri-sendiri untuk bertahan dan menjaga kelangsungan perusahaan. Sebagai contoh PT Pertamina Kilang Internasional (KPI) membeli minyak dari hulu kepada Pertamina Hulu Energi (PHE) anak dengan harga pasar atau mungkin lebih tinggi dari harga pasar. Minyak bumi tersebut diangkut oleh sub holding Pertamina Perkapalan, dibawa ke sub holding Pertamina Kilang, lalu diolah menjadi avtur. Selanjutnya Kilang Pertamina Internasional menjual ke Pertamina Patra Niaga (PPN) seharga pasar. Semua lini PHE, perkapalan, KPI, PPN, mendapatkan margin dan masing-masing rantai transaksi juga dikenai pajak, pungutan dan lain sebagainya. Jadilah harga avtur yang sekarang.
Jika mengikuti usulan beberapa kalangan di pemerintahan yang menghendaki ada pesaing penjualan avtur di bandara, maka seharusnya masing-masing sub holding bisa menjual avtur di bandara. Misalnya PT KPI bisa menjual langsung avtur yang dihasilkannya di bandara, sebagaimana perusahaan multinasional lain dapat menjual langsung produk mereka di berbagai bandara internasional. Apalagi sekarang PT KPI atau PT Kilang Pertamina Internasional menjadi perusahaan yang mandiri dengan peringkat utang BBB, yang harus mengelola manajemennya secara independen sehingga menghasilkan profit besar. PT KPI dapat menjadi pelaku penjualan BBM termasuk avtur ke konsumen secara langsung di bandara. Lalu Bagaimana nasib Pertamina Patra Niaga? Perusahaan ini juga bisa membeli avtur impor sebagaimana selama ini mereka mengimpor BBM solar, Pertalite, LPG, dan produk lain, untuk dijual di dalam negeri. Ini sesuai dengan yang dikehendaki regulasi holding sub holding, yakni persaingan di pasar kompetitif, termasuk di antara sub holding Pertamina. Dengan mekanisme ini, harga tiket pesawat jadi lebih murah seperti yang diimpikan.*** *)
Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia.