Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi)
ENERGYWORLD.CO.ID – Universitas Paramadina dan INDEF selenggarakan diskusi Panel dengan tema “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8% Tanpa Industrialisasi)” mrlalui zoom pada Minggu, 22 September 2024
Pada acara fiskusi tersebut Pengantar oleh, Prof. Didik J. Rachbini (Rektor Universitas Paramadina) dan Moderator Dr. Didin Hikmah Perkasa (Sekretaris Program Studi Magister Manajemen) dan pembicara pada diskusi itu adalah,
<span;>• Wijayanto Samirin, MPP (Ekonom Universitas Paramadina)
• Prof. Didin S. Damanhuri (Guru Besar Universitas Paramadina)
• Dr. Eisha Maghfiruha Rachbini, S.E., M.Sc (Direktur Program INDEF)
Eisha M. Rachbini dalam diskusi itu mengatakan, ada 8 Asta Cita Prabowo yang hendak dicapai selama 2024-2029. Industri tetap diarahkan untuk meningkatkan nilai ekonomi nasional melalui proses hilirisasi.
Hilirisasi sebetulnya jika dilihat pada academic paper di jurnal-jurnal internasional masih sedikit sekali, atau kurang dipakai untuk melihat perubahan ekonomi satu negara dari berbasis komoditas menjadi negara industri berbasi peran manufaktur yang tinggi. Istilah Industrialiasi lebih banya dipakai untuk mengukur satu negara yang masuk ke negara maju (Jerman, Jepang, Amerika)
“Indonesia pernah mencapai beberapa poin penting industrialisasi saat orde baru. Pertumbuhan kala itu mencapai 8 – 9%. Rata-rata pertumbuhan 8% pernah dicapai pada 1989 hingga 1996 di mana pertumbuhan dapat mencapai 8 – 9 % dalam satu tahunnya,” kata <span;><span;>Eisha.
Jika diilhat era 1989-1996 sebagai pelajaran, terlihat bhw pertumbuhan industri manufaktur terus meningkat. Pada 1989 dari 19% terus meningkat menjadi 25%, industri manufaktur menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi saat itu.
Sayangnya, kata <span;><span;><span;>Eisha, <span;>pada dekade terakhir, kontribusi sektor industri terus menurun. Bahkan pada 2023 tumbuh hanya 18%. Hal itu salah satu titik cukup rendah dibandingkan prestasi di tahun 80an. Seolah-olah kembali terjadi de-industrialisasi dini.
Memang ada saat di mana industri akan tumbuh tinggi maksimal, satu satu akan menurun pertumbuhannya, dan digantikan oleh sektor jasa. Namun Indonesia tidak seperti negara maju, di mana pertumbuhan industrinya belum mencapai taraf penghasilan per kapita setara dengan negara maju. Sehingga itu adalah gejala deindustrialisasi dini. Perubahan pada sektor jasa pun masih didominasi oleh sektor informal, yang rapuh. “Bukan sektor jasa yang memberi nilai tambah tinggi seperti teknologi tinggi, jasa keuangan, digital services,” ujarnya.
Akan baik jika pertumbuhan industri manufaktur tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi. Namun yang kini terjadi pertumbuhan industri selalu di bawah pertumbuhan ekonomi. Maka peran konstribusi sektor industri akan terus tumbuh terhadap GDP. Masih banyak kendala dan tantangan bagi sektor manufaktur untuk jadi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Masalah: industri pengolahan kita masih bertumpu pada komoditas. Sementara produk manufaktur medium hitech masih lebih rendah. Produktivitas industri juga masih cukup rendah, dengan masalah tenaga kerja dan kapasitas SDM, itu menjadi tantangan tersendiri. Juga inovasi dan teknologi, lalu masalah kawasan industri yang banyak dibangun tapi operasional, utilitas masih menjadi tantangan. Begitu pula infrastruktur dan penggunaan komponen dalam negeri untuk produk industri pengolahan,beserta penggunaan material saat ini masih tergantung impor.
Bagaimana produktivitas manufaktur kita terus menurun sejak 2010 dan menjadi semacam red light yang harus diperbaiki. Labour productivity Indonesia juga msih rendah dibanding negara lain spt china, jepang, dan negara-negara maju. Daya saing share prouductity Indonesi juga masih di bawah Thailand. Eskpor manufaktur Indonesia (44%) terhadap seluruh total ekspor masih di bawah china, Vietnam dan Malaysia. Penggunaan medium high-tech manufacture technology juga masih cukup rendah (37,32%).
Eskpor Indonesia juga melulu didominasi oleh commodity base yg tingkat kompleksitas produk tersebut masih rendah. Ekspor complexity menunjukkan produk yang diproduksi jarang diproduksi oleh negara lain. Produk-produk palm oil, coal, dan turunannya masih low complexity. Masih dominan lox complexity di sebagian besar produk ekspor.
Seharusnya dengan economy complexity yang tinggi sebenarnya menunjukkan Indonesia akan mampu memproduksi dengan baik, nilai tambahnya tinggi, berkualitas dgn high tech technology, sehingga bisa memberikan produktivitas dan memiliki inovasi dan keterampilan tinggi. Hingga kemudian bisa menaikkan daya siang ekspor. Pada gilirannya akan menumbuhkan ekonomi dan mendorong penggunaan emisi, menyediakan lapangan kerja, menurunkan pengangguran dan mengurangi kemiskinan.
“Hal di atas yang menjadi landasan di mana ketika ingin menjadi negara maju kita perlu meningkatkan nilai tambah dan berproduksi via industri manufaktur yang dapat menyediakan nilai tambah dan export complexity yang juga tinggi. Juga export diversifikasi sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi,” tegas Eisha. EDY/Ewindo