PENGEMBANGAN BIODIESEL B50, TAPI KENAPA PETANI RAKYAT MASIH MENSUBSIDI PENGGUNA BIO SOLAR
Oleh Memet Hakim Dosen LB Universitas Padjadjaran
Wanhat Aliansi Profesional Indonesia Bangkit & APP-TNI
Pemerintah sudah melakukan soft launching B50 di Batulicin pada 18 Agustus 2024, sebagai upaya mendorong ketahanan energi nasional. Pemerintah terus berupaya melakukan upaya menjamin ketersediaan energi dan kemudahan akses masyarakat terhadap energi dengan harga terjangkau tapi tetap memperhatikan kesejahteraan pekebun. Hal itu disampaikan oleh Ketua Working Group B50 dan mantan Dirjenbun Andi Nur Alam Syah, Jumat (6/9/2024). Bahkan Mentan Amran Sebut Implementasi B50 Jadi Upaya Menuju Kemandirian Energi Nasional yang disampaikan acara soft launching implementasi Biodiesel B50 di Pabrik Biodiesel PT Jhonlin Agro Raya, Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel, Minggu (18/8/2024).
Tentu saja berita ini sangat menggembirakan dunia perkelapa sawitan Indonesia, dengan cara ini minyak sawit Indonesia akan berdaulat penuh dan bahkan jika mau Indonesia dapat mengendalikan harga dunia. Akan tetapi menurut perhitungan teknis penyiapan bahan bakunya pas pasan, jika terjadi kemarau Panjang malah akan kekurangan, karena produksi minyak sawit nasional, tidak akan cukup jika tidak ada. Produktivitas minyak sawit saat ini baru mencapai 35-36 % dari potensi sesungguhnya, sehingga jika ada perbaikan teknis dan tambahan stimulan dari pemerintah, produktivitasnya tidak sulit untuk ditingkatkan.
Kalau memperhatikan tabel diatas, maka program B50, masih dapat dilaksanakan as usual tanpa ada upaya teknologi khusus, dan juga tanpa menggoncang keseimbangan harga minyak dunia. Begitu pula jika akan ditingkatkan menjadi B60, diperkirakan pasar dunia belum akan terguncang, tetapi eksportir CPO atau turunannya seperti Malaysia akan diuntungkan karena harga akan meningkat tipis..
Baru setelah meningkat ke B70 dst, keseimbangan dunia akan terganggu, harga akan melejit. Karena jumlah ekspor dari Indonesia dari sekitar 30-32 juta ton akan berkurang menjadi dibawah 20 juta ton/tahun. Banyak negara diluar Eropa dan Amerika mulai terganggu, untuk itulah “rekayasa teknologi agronomi” yang dapat meningkatkan produktivitas secara drastis sudah harus diterapkan. Teknologi ini dapat meningkatkan dengan mudah jika hanya 30 % dan dan umumnya sampai diatas 60%.
Semakin tinggi campuran Biosolarnya akan semakin baik mutunya dan semakin banyak juga pengurangan emisi gas rumah kaca. B 25 akan mengurangi emisi gas sebesar 4.1% (NOx); 12.5% (SO2) and 7.9% (CO2), artinya jika B50 akan mengurangi sebesar 2x lipat dari angka diatas. Kadar belerang yang merusak mesin akan turun, tetapi bilangan setana akan meningkat, sehingga mobil jenis baru juga dapat menggunakannya tanpa kuatir ada masalah mesin.
Salah satu tujuan program pengembangan Biodiesel ini adalah menstabilkan harga CPO dan menghemat devisa atau memperbaiki deficit neraca perdagangan. Ada multiplier effect bagi 13.5 juta petani perkebunan kelapa sawit, tetapi petani rakyat masih mensubsidi pengguna bbm Bio solar, hal ini perlu diperbaiki dalam bentuk memperbanyak subsidi pupuk, mempermudah prosedur program replanting dan memfasilitasi rekayasa Teknik agronomi yang dapat meningkatkan protas kelapa sawit secara signifikan.
Sayangnya program bio diesel ini belum sepenuhnya dinikmati oleh para petani kelapa sawit, saat ini petani masih ikut mensubsidi pengguna bio diesel. Subsidi dari BPDPKS umumnya diterima oleh para pengusaha besar. Subsidi biaya Replanting, sangat membantu meningkatkan produksi, karena terjadi peremajaan dan penggantian bibit asalan dengan bibit unggul. Sayangnya prosedur mendapatkan dana replanting ini dianggap tidak mudah, sehingga belum banyak yang memanfaatkannya. Subsidi pupuk diprediksi dapat menjadi stimulan yang menarik. Petani yang mempunyai kontribusi terhadap pendapatan BPDPKS tidak kurang dari 40 %, sehingga wajar jika 40 % dari pendapatan BPDKDS dari kelapa sawit dikembalikan ke petani.
BPDPKS mungkin juga dapat lebih berperan dalam membiayai rekayasa teknologi agronomi pada kelapa sawit di seluruh Indonesia, sehingga produksi nasional naik drastis, dan pendapatan dari BK dan PE juga akan meningkat tajam.
Menurut Menteri Pertanian, tantangan pengembangan biodiesel B50 ke depan bukan sekadar menyoal pemenuhan ketersediaan B50 saja, tetapi juga menjaga bahan baku dari CPO serta program yang membawa keuntungan dan kesejahteraan bagi pekebun. (kompas.com/2024/09/07). “Perkebunan kelapa sawit, baik swasta, negara, dan rakyat, sebenarnya masih berpotensi ditingkatkan produktivitasnya menjadi di atas 50 juta ton tanpa harus menambah luasan areal”. “Untuk B50, ada stimulan dari APBN. Pemerintah yang akan datang sudah mempersiapkan anggaran stimulan untuk program B50, tidak dari BPDPKS semua. Program di hulu harus tetap diperkuat untuk peremajaan sawit, sarana dan prasarana, serta penguatan SDM pekebun,” imbuhnya. Oleh karena itu, semangat kolaboratif dari semua pemangku kepentingan menjadi kunci pengembangan implementasi B50 yang melibatkan kementerian/lembaga teknis, baik di level pusat maupun daerah.
Tahun 1973 luas kebun kelapa sawit nasional sekitar 260.000 ha, “mayoritas” milik Perkebunan Negara. Sekarang (2021) luas areal mencapai 15.08 juta ha , bahkan tahun 2024 hasil audit, luasnya menjadi 16.8 ha. Luas land bank yang telah ada ijin usaha dan HGU nya diperkirakan tersedia 3,2 juta ha, sehingga total areal kelapa sawit menjadi 20 juta ha.
Saat ini proporsi luasnya menjadi terbalik “Perkebunan Negara hanya ada 3.84 %”, PR (Perkebunan Rakyat) 40.34 % dan PBS 55.8 %. Dengan modal lahan sawit 20 juta ha Indonesia sebenarnya dapat menghasilkan minyak sawit 100 juta ton, bahkan jika intensifikasi dilakukan secara serius, bukan tidak mungkin produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai diatas 100 juta ton/tahun. Tinggal bagaimana agar pendapatan dari kelapa sawit ini juga bermanfaat untuk kemakmuran rakyat disekitarnya, bukan hanya untuk pengusaha.
Bandung 23.09.2024