Engineering Plant Menentukan Dominasi Industri Gas China
ENERGYWORLD.CO.ID – Teknologi China masih mendominasi industri gas terutama engineering plant plus system pendukung, fasilitas dan berhasil menjual ke berbagai perusahaan local di Indonesia dan India, termasuk Samator Group yang kantor pusatnya di Surabaya, Jawa Timur serta Tebet, Jakarta Selatan. Engineering plant China juga mendorong pembangunan air separation unit (ASU) dengan teknologinya, sampai pada produksi baja dimana gas dan bahan kimia lainnya digunakan. “Industri baja butuh ASU, untuk produksi oksigen, nitrogen, argon. Dari ketiga (gas), oksigen yang paling besar penggunaannya untuk produksi baja,” kata pakar energy Indonesia, Imam Syofwan kepada Redaksi.
Pembuatan baja modern sangat bergantung pada penggunaan Oksigen (O2) untuk memperkaya udara dan meningkatkan suhu pembakaran. Akibatnya, pembakaran yang cepat terjadi pada sekitar 2800°C (5072°F). Selama proses pembuatan baja, karbon yang tidak digunakan menggabungkan dengan Oxygen (O2) untuk membentuk oksida karbon, yang pergi sebagai gas. Jumlah besar Oxygen (O2) juga digunakan untuk membuat logam lain, seperti tembaga, timah dan seng. Produsen baja swasta Indonesia seperti Gunung Garuda (GG) sempat mencanangkan target produksi maksimal, tapi terbentur dengan kondisi infrastruktur di Cikarang Barat, Bekasi (lokasi perusahaan). “GG belum mampu menggunakan blast furnace. Dia mendatangkan material 2 juta ton, produknya 2 juta ton. Berarti traffic (di Cikarang) untuk angkutan dibebani sampai 4 juta ton per tahun. traffic Cikarang Barat sangat padat, dan sulit menampung jutaan ton. Selain, produsen baja d Indonesia tidak punya engineering center untuk bangun ASU,” kata Imam Syofwan.
Selain masalah traffic di sekitar lokasi pabrik, GG juga belum merelokasi atau mendirikan pabrik baru. Target produksi belum tercapai. Mereka akhirnya menunda proyek pembangunan blast furnace yang desain konstruksi tungkunya untuk mengubah oksida besi (bijih besi) menjadi besi cair murni (memproduksi besi cair) melalui penerapan panas dan adanya fluks dan kokas. Mereka akhirnya beli scrap dengan proses melting, pencairan sampai dicetak menjadi baja. Kalau dengan blast furnace, mereka beli ore atau bijih besi. Produsen lain, seperti Gunung Paksi, Krakatau Steel (BUMN) juga belum berhasil meningkatkan kapasitas produksi. Sementara kebutuhan baja di dalam negeri mencapai 12 juta ton per tahun. “Kalau semua produsen baja di dalam negeri dikumpulkan, keseluruhan produksi hanya mencapai setengahnya atau setara dengan 6 juta ton,” kata Imam Syofwan.
PT Krakatau Steel (Persero) Tbk atau KS memproduksi melting iron (besi cair) dengan kapasitas 2 juta ton per tahun. Sementara, negara-negara raksasa seperti China sudah mencapai keekonomian pada kapasitas produksinya. Satu plant saja, kapasitas produksi mencapai 3 juta ton/tahun. Melihat kebutuhan dalam negeri Indonesia, yakni 12 juta ton per tahun, KS sempat berambisi mengejar ketertinggalan. KS dan beberapa produsen baja berkompetisi, salah satunya dengan blast furnace project. Blast furnace tidak memerlukan direct reduced iron (DRI) pada temperatur tinggi. Sementara pabrik KS menggunakan gas alam. “Sehingga muncul masalah teknis pada blast furnace project, berakibat pada ongkos produksi yang tinggi. Blast furnace project KS tidak efektif berjalan,” kata Imam Syofwan.
Akhirnya produksi baja cair tutup dan beralih pada pembelian dari perusahaan Korea, Posco. Baja di forming menjadi baja lembaran, kawat, plat dan bar. KS tidak lagi produksi baja sendiri, hanya forming saja. KS membeli dalam bentuk slab, lalu di press sampai tipis atau plat. Produsen baja lainnya, seperti PT Gunung Raja Paksi Tbk, The Master Steel masih efektif. “Konstruksi tungkunya bukan dengan blast furnace. Sehingga produsen baja Indonesia juga tertinggal dibanding negara lain, termasuk China. Karena semua gas yang bersumber dari ASU dengan teknologi canggih, berpengaruh juga pada produksi baja. Industri gas paralel dengan industry baja terutama oksigen,” kata Imam Syofwan.