“Survei Bloomberg: Ekonomi RI Kian Lesu, Risiko Resesi Membesar – Market”
ENERGYWORLD.CO.ID – Ekonomi Indonesia pada kuartal terakhir tahun ini diperkirakan hanya tumbuh 4,93% year-on-year menurut hasil survei Bloomberg yang terbaru terhadap 32 ekonom, yang dilansir hari ini. Proyeksi ini lebih kecil dibanding perkiraan dalam survei sebelumnya pada level 5%.
Selain itu, bila ramalan para ekonom itu terpenuhi, berarti pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia makin melambat di pengujung tahun karena pada kuartal III-2024 lalu perekonomian hanya tumbuh 4,95%.
Para ekonom yang disurvei pada periode 21-27 November itu, di tengah lanskap global yang telah berubah cepat dengan keterpilihan Donald Trump dalam Pilpres awal bulan, memprediksi pertumbuhan ekonomi RI secara keseluruhan tahun ini akan stuck di angka 5%, melambat dibanding capaian 2023 sebesar 5,05%.
Para ekonom juga menilai, ekonomi RI pada 2025 masih akan terjebak kelesuan dengan capaian pertumbuhan hanya di 5%.
Yang juga perlu dicatat, para ekonom juga menilai perekonomian Indonesia memiliki potensi mengalami resesi dalam 12 bulan dengan probabilitas makin besar, mencapai 10%. Sebagai perbandingan, pada Juli lalu, risiko resesi ekonomi RI masih 0%.
Kelesuan konsumsi di tengah kebijakan moneter yang masih cenderung restriktif menjadi pangkal dari pertumbuhan yang melambat. Meski para ekonom melihat masih ada peluang BI rate dipangkas 25 bps pada pertemuan bulan depan, kebijakan bunga acuan tahun depan dinilai masih akan ketat dengan peluang penurunan tinggal 75 bps.
“Setelah pada Desember sepertinya akan memangkas bunga acuan sebesar 25 bps, kami perkirakan tahun depan BI rate hanya akan dipangkas 75 bps pada 2025. Prediksi itu lebih sedikit dibanding perkiraaan kami sebelumnya yaitu pemotongan hingga 4,5% hingga akhir 2025,” jelas Lloyd Chan, Strategist MUFG Bank, dilansir dari Bloomberg.
Ekspektasi inflasi
Para ekonom juga memperkirakan, inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada 2024 akan sebesar 2,40%, lebih kecil dibandingkan hasil survei sebelumnya sebesar 2,50%.
Inflasi pada tahun depan diprediksi lebih tinggi jadi 2,55%, akan tetapi itu lebih kecil dibanding perkiraan survei sebelumnya yang mencapai 2,70%.
Secara terperinci, pada kuartal akhir ini, inflasi diramal lebih tinggi menjadi 2% setelah pada kuartal III lalu tercatat sebesar 1,84%.
Kenaikan inflasi di akhir kuartal sepertinya banyak dipengaruhi antisipasi penjual ritel menyambut libur Natal dan Tahun Baru. Juga, menjelang penerapan kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) lebih mahal jadi 12% mulai Januari nanti.
Hasil Survei Penjualan Ritel terakhir yang dilansir BI, mencatat, tekanan inflasi 3 dan 6 bulan yang akan datang, yaitu pada Desember 2024 dan Maret 2025 diprakirakan meningkat.
Hal itu tecermin dari Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) Desember 2024 dan Maret 2025 yang masing-masing tercatat sebesar 152,6 dan 169,4, lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya yang tercatat sebesar 134,3 dan 155,9.
Ekspektasi inflasi yang naik itu terjadi ketika perkiraan akan penjualan eceran masih ‘kurang darah’.
Indeks Penjualan Riil pada September hanya tumbuh 4,8% year-on-year (YoY), lebih rendah dibanding Agustus sebesar 5,8%.
Secara bulanan, penjualan eceran pada September terkontraksi (tumbuh negatif) sebesar 02,5% month-on-month (MoM) setelah bulan sebelumnya masih tumbuh 1,7%.
Perlambatan kinerja penjualan ritel kemungkinan masih akan berlanjut sampai Oktober. Hasil survei memprediksi, penjualan eceran pada Oktober hanya akan tumbuh 1% YoY, sedangkan secara bulanan masih terkontraksi -2,5% MoM.
Hasil survei penjualan eceran terakhir itu mempertegas terjadinya pelemahan daya beli yang sudah berlangsung sekian lama dan telah menyeret pertumbuhan ekonomi pada kuartal lalu menjadi makin melemah. **