Kegagalan Penguasa Mengalihkan Isu Kenaikan PPN 12 Persen dengan Kasus Hasto Kristiyanto
DR Gede Moenanto
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjelma menjadi komisi untuk menghabisi lawan politik.
Hal itu ditunjukkan dengan taji KPK untuk menyebarkan Surat Perintah Dilakukannya Penyidikan (SPDP) terhadap sosok Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Dr. Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus korupsi yang terkait dengan Harun Masiku.
KPK menangkap penerima komisi (komisioner) KPU, Wahyu Setiawan yang dituduh telah menerima sejumlah uang senilai Rp 900 juta untuk menjadikan Harun Masiku, yang sebelumnya menjadi caleg Partai Demokrat sebagai anggota DPR dari PDIP untuk Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap Nazaruddin Kiemas, yang meninggal dunia.
Harun Masiku lenyap dan diawali dengan simbol Joko Widodo (Jokowi) menembakkan dor, dor, dor menggunakan jari-jarinya simbol menembak sebelum media sosial ramai dengan ditetapkannya Hasto Kristiyanto sebagai tersangka kasus Harun Masiku yang sudah terjadi hampir lima tahun lalu bahkan sosok Wahyu Setiawan sudah dibebaskan KPK dari proses menjalani hukuman karena perbuatan dia meminta sejumlah uang kepada Harun Masiku agar bisa menjadi anggota DPR dari proses PAW, tapi hal itu bukan hanya terjadi di PDIP bahkan juga melibatkan beberapa nama lainnya, yang juga menjadi anggota DPR dari proses PAW dari berbagai partai politik dengan jalur yang serupa Harun Masiku.
Masalahnya, KPK belum pernah memeriksa Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dan menjadikan dia hanya sebagai saksi kasus Harun Masiku di mana terakhir penyidik KPK, Rosa, menyita ponsel Hasto Kristiyanto dari pengawalnya, tapi tidak ada berita atau isu seputar kelanjutan kasus ini kecuali cerita yang berkembang bahwa sosok Hasto Kristiyanto kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
Bahkan sampai semua media memberitakan kasus ini, KPK masih belum memanggil Hasto Kristiyanto yang kemudian meredup karena publik kembali ramai dengan berita soal kenaikan PPN 12 persen yang sebelumnya baru saja dinaikkan 11 persen, sehingga sangat memukul ekonomi masyarakat di mana banyak terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap kalangan pekerja terakhir menimpa perusahaan media seperti ANTV dan Net TV, yang memutuskan PHK terhadap kalangan pekerja mereka.
Kasus pengumuman tersangka terhadap Hasto Kristiyanto kemudian mulai meredup dan dilupakan masyarakat karena terbukti masyarakat lebih memperhatikan tekanan ekonomi yang berat di depan mata.
Tahun 2024 sudah diperberat dengan kenaikan pajak 11 persen, kemudian belum lagi genap setahun sudah dinaikkan 12 persen, sehingga banyak industri terpukul karena terbukti PPN 12 persen bukan untuk barang mewah di mana barang mewah sudah dikenakan pajak PPN BM yang khusus untuk barang mewah, sehingga mustahil PPN ini disebut sebagai PPN BM, sehingga sulit sekali untuk mengalihkan perhatian publik dari isu tersebut.**