Home Dunia Kehancuran Gaza dan Kekalahan Israel

Kehancuran Gaza dan Kekalahan Israel

141
0

Kehancuran Gaza dan Kekalahan Israel

Smith Alhadar
Penasihat Perkumpulan Kajian Timur Tengah Indonesia

PERANG Hamas-Israel berdampak besar bagi kehidupan sosial di wilayah Gaza dan kehidupan politik Israel. Ketika gencatan senjata kedua kubu tercapai, tak kurang dari 46.800 warga Gaza tewas, sebanyak 110 ribu orang lainnya terluka, dan lebih dari setengah infrastruktur yang menunjang kehidupan lenyap.
Sebanyak 90 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza mengungsi dalam tenda-tenda darurat. Butuh lima tahun untuk membersihkan Gaza dari puing sisa perang. Untuk membangun Gaza kembali, akan memakan waktu beberapa dekade. Belum lagi pemulihan trauma perang yang diderita anak-anak. ​Sepadankah hasil politik yang diperoleh Hamas dengan kehancuran kehidupan di Gaza? Bagaimana Hamas harus menangani jutaan warga Gaza yang terlunta-lunta?

Tapi perang yang dimulai Hamas pada 7 Oktober 2023 memang membuahkan hasil. Untuk pertama kalinya, Palestina kembali ke pusat perhatian dunia dengan posisi yang lebih kuat daripada era mana pun sepanjang sejarah satu abad perjuangannya. Kini negara yang mendukung berdirinya negara Palestina terus bertambah menjadi 143 negara, termasuk 15 negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO.

Upaya Palestina mendapatkan dukungan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi berdirinya negara Palestina memang belum berhasil karena diveto Amerika Serikat. Namun, pada tanggal 10 Mei 2023, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh. Palestina juga mendapat beberapa hak dan keistimewaan tambahan mulai September 2024, yang mencakup kursi di antara anggota PBB di ruang sidang tanpa hak suara. Simpati kepada cita-cita Palestina yang terus meningkat tak bisa dilepaskan dari genosida oleh Israel di Gaza.

Pada Juli tahun lalu, Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan pendudukan Israel atas Tepi Barat dan Gaza merupakan tindakan ilegal. Pengadilan dunia juga memerintahkan Israel untuk membongkar organisasi Yahudi di daerah pendudukan dan memberikan perdamaian kepada warga Palestina yang terusir dari tanah mereka. Keputusan ICJ dirilis saat para pemukim Yahudi bersenjata di Tepi Barat dengan kawalan militer Israel (IDF) menyerang warga Palestina dan merampas tanah mereka. Belakangan IDF juga melakukan operasi militer di Tepi Barat.

Bagaimanapun, dengan tercapainya gencatan senjata, Israel gagal di semua lini. Pertama, tujuan perang mereka, yakni melumatkan Hamas, tidak tercapai. Tekad Hamas untuk terus berteriak di tengah bombardir brutal IDF yang sengaja menyasar warga sipil dengan sungguh-sungguh mencengangkan.

Israel tidak menghadapi negara dengan kekuatan militer yang setara, melainkan milisi dengan jumlah sumber daya manusia yang terbatas dan senjata seadanya. Gaza juga menyediakan pertahanan alami untuk membantu Hamas menghadapi kekuatan militer canggih. Daya tahan warga Gaza untuk menghadapi malapetaka juga sulit dilukiskan.

Kedua, Israel gagal memerdekakan warga Yahudi yang disandera di Gaza. Padahal negara itu dibantu Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat (CIA) sejak awal perang. Hal ini memberikan citra Mossad sebagai badan intelijen kelas Wahid setelah sebelumnya gagal mengantisipasi serangan dadakan Hamas. Ketiga, postur militer Israel tidak bisa lagi dianggap sebagai yang terkuat di kawasan. Toh, Israel juga tidak menang menghadapi Hizbullah di Lebanon. Memang Hizbullah terpukul hebat, tapi Israel terpaksa menyetujui gencatan senjata, yang menunjukkan IDF tak mampu menundukkannya.

Dua kali serangan besar Iran dan serangan berulang Houthi ke Israel menunjukkan kemampuan pencegahan Israel telah hilang. Artinya, baik Iran maupun Houthi tidak memandang Israel sebagai monster yang tidak bisa dilawan. Keempat, reputasi Israel di tingkat regional ataupun global hancur berantakan. ICJ dan Komisi Tinggi HAM PBB telah memvonis Israel sebagai pelaku genosida. Sementara itu, Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant.

Kelima, mengizinkan Israel menguasai Gaza pascaperang melalui penempatan militer di Koridor Philadelphia antara Gaza dan Mesir serta Koridor Netzarim yang membelah Gaza di utara dan selatan juga gagal. Walhasil, syarat gencatan senjata ini didikte Hamas. Dengan semua kondisi tersebut, Israel tidak bisa pulih. Keinginan Israel berintegrasi ke Timur Tengah juga tak akan tercapai, kecuali negara itu siap berunding dengan Palestina yang berakhir pada berdirinya negara Palestina yang berdaulat. Tak bisa kurang.

Dalam konteks ini, pengorbanan Palestina secara keseluruhan menemukan maknanya. Sebaliknya, kendati gencatan senjata bisa diterima sebagian besar masyarakat Israel, kelangsungan hidup Israel akan menjamin luas dan karier politik Netanyahu terancam. Partai anggota yang bersekutu dengan “Kekuatan Yahudi” pimpinan Itamar Ben-Gvir telah mengundurkan diri. Partai ekstrem kanan lainnya, “Zionis Religius”, pimpinan Bezalel Smotrich juga bertekad akan mundur dari pemerintahan yang berkuasa jika Netanyahu melanjutkan perang setelah sandera dibebaskan.

Netanyahu berjanji memenuhi tuntutan itu. Namun yang jelas, komitmen tersebut tidak lebih dari janji kosong untuk mempertahankan pemerintahannya karena momentumnya telah hilang. Selain itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga menghendakinya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.