ENERGYWORLD.CO.ID – Harga komoditas batubara dua pekat terakhir terus merosot menambah beban berat bagi industri pertambangan, khususnya batubara di Provinsi Aceh. Berdasarkan data Indonesia Coal Index per 25 Januari 2025, harga batubara dengan nilai kalor 3.400 kcal/kg GAR berada di level USD 29,82 per ton, akibat melimpahnya pasokan dari negara konsumen utama seperti India dan China.
Penurunan harga ini membuat perusahaan-perusahaan batubara semakin kesulitan menjaga kelangsungan operasional. Biaya produksi yang hampir setara atau bahkan lebih tinggi dari harga jual menjadi tantangan besar, seperti yang dialami oleh perusahaan tambang PT Mifa Bersaudara. Margin keuntungan yang sangat tipis membuat industri ini rentan terhadap dinamika pasar global.
Selain tertekan oleh harga yang anjlok, perusahaan batubara di Aceh juga menghadapi tuntutan regulasi, termasuk kewajiban Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR) yang kini dinaikkan menjadi 3% dari penjualan. Di tengah situasi tersebut, efisiensi operasional juga terganggu oleh tingginya stripping ratio, yang secara langsung meningkatkan biaya produksi.
Sebagai gambaran, stripping ratio 4:1 berarti untuk mendapatkan 1 ton batubara, perusahaan harus mengupas 4 m³ tanah penutup (overburden). Jika rasio meningkat menjadi 5:1, maka tanah yang harus dikupas menjadi 5 m³, sehingga biaya produksi semakin melonjak. Investasi besar pada teknologi untuk menekan stripping ratio menjadi sulit dilakukan di tengah penurunan harga yang terus berlangsung.
Kondisi ini memperburuk prospek industri batubara kalori rendah, yang sudah menghadapi tantangan lebih besar dibandingkan batubara kalori tinggi dalam hal efisiensi produksi. Beberapa perusahaan mungkin terpaksa mempertimbangkan opsi untuk menutup tambang, mengingat biaya produksi yang tidak lagi sebanding dengan pendapatan dari hasil penjualan.
Industri batubara di Aceh menghadapi tantangan berat sejak tahun 2024 dan 2025 saat ini. Masa depan sektor ini sangat bergantung pada kemampuan perusahaan untuk bertahan, inovasi teknologi, serta dukungan kebijakan dari pemerintah guna membantu industri bertahan di tengah kondisi pasar yang sulit.
sumber RRI