Home Energy Gas Kenapa PGN Membatasi Konsumsi Gas Pipa untuk Pelanggan Industri?

Kenapa PGN Membatasi Konsumsi Gas Pipa untuk Pelanggan Industri?

431
0

ENERGYWORLD.CO.ID – Sejak Mei 2024 lalu, Subholding PT Pertamina Gas Negara (PGN) Tbk emiten berkode PGAS telah membatasi konsumsi gas pipa untuk pelanggan industri mereka di Jawa Bagian Barat (JBB) menjadi hanya 60% dari volume yang terkontrak dan dipenuhi dengan gas LNG yang pastinya lebih mahal harganya.

Pembatasan itu disebutkan dengan alasan menurunnya pasokan gas dari lapangan Corridor-Grissik Medco E&P Sumatera Selatan untuk memasok jaringan pipa transmisi South Sumatera-West Java (SSWJ).

Realitas tersebut pun telah dibenarkan oleh Direktur Komersial PGAS, Ratih Esti Prihatini kepada media Rabu (22/1/2025) lalu. Ia juga menegaskan apabila terdapat gangguan dari pasokan pipa gas, PGAS telah menyiapkan LNG untuk menjaga pengaliran kepada pelanggan agar tidak terjadi kendala.

Karena pada hari itu linepack pada batas level 780 MMCFD (juta standar kaki kubik per hari), yaitu berada di bawah batas minimum 800 MMCFD, maka situasi ini mempengaruhi tekanan jaringan pada pipa yang berpotensi pada pelanggan besar seperti PLN Indonesia Power Tj Priok dan PLTGU Muara Tawar.

Mengenai hal ini, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman pada Minggu (9/1/2025) di Jakarta mengatakan, anehnya PGAS tidak pernah menyampaikan informasi mengenai kontrak pasokan LNG nya di website IDX.

“Padahal seharusnya kontrak pasok LNG ini harus dilaporkan sebagai keterbukaan informasi emiten dalam rangka memenuhi kewajiban Peraturan OJK Nomor 31 tahun 2015 dan UU Pasar Modal Nomor 8 Tahun 1995,” kata Yusri.

Menurut Yusri, fakta tersebut juga bertentangan dengan pernyataan Sekretaris Perusahaan PGAS, Fajriyah Usman sebelumnya kepada media pada Kamis (23/1/2025) yang mengatakan semua informasi secara umum sudah disampaikan, silahkan dicek saja di website IDX.

“Rekan media CERI telah mengkonfirmasi ulang terkait temuan di atas kepada Corsec PGAS sejak hari Minggu (26/1/2025). Lantaran sedang cuti bersama, Dirut PGN Arief Handoko dengan Corsec Fajriyah pada hari Selasa (28/1/2025) pagi berjanji pada awal Februari akan mengundang CERI untuk menjelaskan semuanya. Namun hingga berita ini dirilis, janji tersebut tidak ditepati. Inilah contoh cara manajemen perusahaan terbuka BUMN dalam merespons pertanyaan publik,” beber Yusri.

Setelah CERI mengecek ulang di website IDX, tidak ada informasi mengenai kontrak LNG yang ditanyakan oleh CERI tersebut. Terakhir, pada laman keterbukaan informasi PGAS di website IDX hanya ada informasi tentang perolehan atau kehilangan kontrak penting.

Anehnya lagi, lanjut Yusri, di akhir tahun kemarin PGAS kembali menyurati pelanggan industri di Jawa Bagian Barat (JBB) yang seolah-olah memaksa pelanggan industri untuk menerima standar kuota pasok pipa gas yang lebih rendah lagi, hanya 45 persen pipa gas dan memperbesar porsi LNG menjadi 55 persen dengan harga jual yang jauh lebih mahal dari harga sebelumnya.

Ironisnya, harga jual LNG yang mencapai USD 16,7 per MMBTU itu tidak diketahui berapa volume terkontraknya, berapa harga belinya dan sekaligus dari mana asalnya. Hal ini semakin mencurigakan, apakah strategi ini sengaja diterapkan untuk menambah pendapatan akibat jebolnya volume penjualan gas PGAS?, tanya Yusri.

Dikatakan Yusri, kondisi ini menjadi perhatian para aktivis industri gas PGN, mengingat pada awal masa jabatan Dirut PGAS, Arief Handoko pada September 2023 pernah akan menaikkan harga jual gas non Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebagai dampak kenaikan harga beli gas dari Medco E&P.

Untunglah saat itu Menteri ESDM Arifin Tasrif masih mempertimbangkan sehat dan menolak kenaikan harga gas industri tersebut, kata Yusri.

Menurut Yusri, saat ini malah semakin parah. PGAS menaikkan harga jual gasnya dengan memanfaatkan kondisi penurunan pasokan dan seolah-olah menambal kekurangan pasokan tersebut dengan LNG.

“Dengan demikian Manajemen PGAS dapat terus mempertahankan margin yang tinggi di tengah kondisi turunnya pasokan yang tentunya sekaligus patut dianggap sebagai taktik untuk menaikkan nilai tawar dalam negosiasi tantiem pada RUPS tahun nanti,” ulas Yusri.

Lebih lanjut Yusri menguraikan, pemanfaatan LNG sebagai penambal kekurangan pasokan gas pipa PGAS memang dapat dianggap sebagai keputusan yang paling masuk akal untuk dilakukan PGAS saat ini, mengingat sulitnya mendapatkan pasokan gas bumi baru dari sekitar wilayah infrastruktur gas PGAS.

“Namun, di tengah kondisi sulit saat ini seharusnya PGAS dapat lebih transparan dalam meneruskan beban biaya penggunaan LNG kepada pelanggan industrinya,” ungkap Yusri.

Sayangnya, kata Yusri, tiba-tiba saja PGAS penerapan kuota atas konsumsi gas bumi dan sekaligus memaksa pelanggan industri untuk menggunakan LNG dengan porsi yang sudah ditentukan oleh PGAS tanpa menghitung berapa realisasi jumlah LNG yang disalurkan melalui jaringan pipa gas PGAS.

“Semestinya, volume LNG yang ditagihkan kepada pelanggan harusnya berkesesuaian dengan jumlah LNG yang masuk ke dalam jaringan pipa gas dan benar-benar digunakan untuk menambal kekurangan pasokan gas bumi bagi pelanggan industri,” papar Yusri.

Konon kabarnya, kata Yusri, saat ini PGAS sudah secara otomatis menagih pelanggan industri dengan harga LNG maksimum 55 persen dari volume kontrak. Padahal sampai hari ini belum ada satu pun kargo LNG jatah PGAS yang masuk ke dalam jaringan distribusi milik PGAS. Timbul pertanyaan, kok bisa-bisanya sudah langsung menagih sampai maksimum 55 persen kontrak volume pelanggan industri JBB dengan harga LNG?.

“Oleh sebab itu, untuk menghindari kerugian konsumen industri jadi ‘boncos’ dan menjaga nama baik Pertamina serta komitmen Pemerintah menetapkan harga gas USD 6 per MMBTU bagi 7 industri, CERI berharap Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina Holding membentuk tim investigasi untuk menelisik temuan CERI ini apakah benar?,” pungkas Yusri.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.