Diizinkannya Pertambangan Rakyat di Kaltim Akan Jadi Karpet Merah untuk Penjahat Lingkungan
ENERGYWORLD.CO.ID – Munculnya rencana implementasi izin pertambangan rakyat (IPR) di Kaltim rupanya bukan tahun ini saja menggaung.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim mencatat, sejak 2018 hingga kini, di tengah tanah Kaltim “dihancurkan” oleh sektor pertambangan legal dan ilegal, wacana IPR yang sudah dua kali diusulkan untuk direalisasikan akan menjadi ancaman lebih berat buat Kaltim.
Yakni pada 2020 di Kukar dan 2022 di Karang Paci.
“IPR ini konteksnya memang dengan investasi terbatas dan luasannya kecil, namun dikhawatirkan daya rusaknya akan lebih hebat. Karena akan semakin masif pengusaha yang bakal mengajukan izin. Meski dalam PP itu juga ada kewajiban reklamasi,” ungkap Dinamisator Jatam Kaltim Mareta Sari.
Dengan sejumlah aturan dan regulasi yang sudah ditetapkan pemerintah pusat, disebut Mareta menjadi bentuk melegalkan sebuah aktivitas yang secara hukum jelas-jelas ilegal.
Pasalnya, jika membaca dari berbagai sumber berita terkait lokasi potensial menjadi wilayah pertambangan rakyat (WPR), diduga lokasinya termasuk yang berada di titik-titik yang sudah menjadi pertambangan ilegal.
Sehingga pada banyak kasus (jika berada di lokasi tambang ilegal), itu justru akan menjadi bentuk pelegalan terhadap pelanggaran hukum. Di sana ada kerusakan lingkungan dan kerugian negara. Jadi ini bisa disebut menjadi karpet merah buat pelaku penambang ilegal agar bisa mendapatkan izin tambang,” ungkapnya.
Untuk diketahui, berdasarkan UU Minerba, luas maksimal WPR yang semula 25 hektare bertambah menjadi 100 hektare.
Luas wilayah maksimal untuk masing-masing IPR bagi perseorangan adalah 5 hektare atau koperasi paling luas 10 hektare.
Dengan jangka waktu izin, yang semula paling lama lima tahun dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 10 tahun, dan izin dapat diperpanjang dua kali masing-masing lima tahun.
“IPR memang belum ada di Kaltim. Namun ancamannya saya prediksi akan lebih serius terhadap lingkungan. Karena saat ini saja, dengan keberadaan tambang legal dan ilegal saja, ekonomi Kaltim sebenarnya porak-poranda, jika mau dihitung dengan biaya pemulihan dampak kerusakan lingkungan. Belum lagi bertambahnya potensi konflik sosial antara rakyat dengan rakyat. Akibat embel-embel tambang rakyat,” beber Mareta. **
sumber: kaltimpost