Bahaya laten Danantara: Jika Pemilik dan Operator Tidak Dipisah, Proyek Berisiko Jadi Beban Baru Negara
Harun alrasyid LUBIS / ITB *)
*Ringkasan*
Danantara (Daya Anagata Nusantara) dirancang untuk menjadi kendaraan keuangan super besar bagi pembangunan nasional Indonesia, dengan menghimpun tujuh BUMN raksasa ke dalam satu holding. Namun, di balik ambisi besar ini terdapat bahaya laten yang berpotensi mengancam keberhasilan Danantara: tidak adanya pemisahan yang tegas antara peran pemilik dan operator aset.
Belajar dari pengalaman Temasek Holdings (Singapura) dan Khazanah Nasional (Malaysia), pemisahan antara pemilik (holding fund) dan operator (BUMN) adalah syarat mutlak bagi keberhasilan Danantara. Tanpa pembenahan struktur dan strategi yang jelas, Danantara berisiko menjadi entitas birokratis baru yang menambah beban fiskal negara, dan gagal menjadi katalisator pembangunan.
1. Ambisi Besar Danantara
Danantara lahir awalnya dari visi untuk menciptakan “super vehicle” yang mengonsolidasikan tujuh BUMN kunci:
• Bank Mandiri
• BRI
• BNI
• Pertamina
• PLN
• Telkom
• MIND ID
Ketujuh perusahaan ini menguasai 80% dari laba BUMN nasional. Dengan kekuatan keuangan dan aset yang besar, Danantara ditargetkan menjadi motor utama penggalangan dana pembangunan, sekaligus alat Indonesia untuk memasuki pasar keuangan global.
Namun, hingga awal 2025, peluncuran Danantara terus mengalami penundaan akibat persoalan regulasi, struktur kepemilikan, dan tantangan internal BUMN yang masih “old school” secara manajerial.
2. Tantangan Struktural: Bahaya Tidak Memisahkan Pemilik dan Operator
2.1. Konflik Peran
Jika Danantara bertindak sebagai pemilik sekaligus operator BUMN:
• Keputusan strategis dan operasional bercampur, menyebabkan potensi konflik antara kebutuhan investasi makro Danantara dan kebutuhan ekspansi mikro masing-masing BUMN.
• Tumpang tindih fungsi dengan Kementerian BUMN, yang tetap memiliki peran regulasi sekaligus kontrol atas entitas negara.
2.2. Efisiensi dan Akuntabilitas
• BUMN bisa kehilangan fleksibilitas dan kecepatan dalam mengambil keputusan bisnis.
• Danantara akan menjadi “kementerian bayangan” yang birokratis dan sulit adaptif terhadap perubahan pasar.
3. Potensi Finansial: Kuat Tapi Terbatas
3.1. Kontribusi BUMN ke Negara
Tahun Dividen BUMN PMN
2022 Rp39,7 T Rp53,1 T
2023 Rp81,2 T Rp35,3 T
2024* Rp85,5 T Rp41,8 T
(*) Proyeksi
Selain dividen, kontribusi BUMN juga datang dari pajak dan PNBP:
Tahun Pajak PNBP Dividen
2020Rp285 T Rp136 T Rp44 T
2021Rp247 T Rp86 T Rp30 T
2022Rp410 T Rp98 T Rp40 T
3.2. Tantangan Leverage
Beberapa BUMN kunci seperti PLN dan Pertamina sudah memaksimalkan leverage untuk ekspansi internal. Maka, mendorong Danantara menarik utang tambahan atas aset BUMN ini dapat memperburuk struktur keuangan mereka.
4. Roadmap Menuju Danantara yang Efisien
Tahap 1: Legislasi dan Restrukturisasi (2024-2025)
• Merumuskan UU Danantara yang memisahkan pemilik (Danantara) dari operator (BUMN).
• Membentuk Dewan Komisaris dan Direksi independen di kedua entitas.
Tahap 2: Konsolidasi dan Optimasi (2025-2027)
• Danantara menjadi holding fund yang hanya berfungsi sebagai pemilik saham BUMN.
• BUMN tetap independen dalam operasional bisnis dan tunduk pada prinsip GCG.
Tahap 3: Monetisasi dan Ekspansi Global (2027-2030)
• Danantara mulai menerbitkan obligasi dan melakukan investasi global.
• Diversifikasi portofolio Danantara ke luar negeri (infrastruktur, energi hijau, teknologi).
Tahap 4: IPO dan Mandiri dari APBN (2030 ke atas)
• IPO Danantara dan sebagian anak usaha BUMN.
• Menciptakan Dana Abadi Nasional yang sustainable seperti Temasek.
5. Catatan Kritis Tambahan
5.1. Adopsi Temasek Way Butuh Budaya Konglomerasi yang Matang
Mengadopsi Temasek Way tidak hanya soal kelembagaan, tapi juga membangun budaya konglomerasi lintas sektor:
• Temasek mengelola portofolio di sektor yang sangat beragam: teknologi, perbankan, energi, hingga properti.
• BUMN Indonesia masih dalam proses membangun kultur AKHLAK, sementara budaya konglomerasi multi-sektor seperti Temasek memerlukan waktu puluhan tahun dan sinergi SDM lintas industri yang sangat profesional.
5.2. Tantangan Corporate Engineering dan Monetisasi
Monetisasi aset bukan sekadar menjual saham, tetapi memerlukan:
• “Bersolek” secara korporasi agar aset terlihat “geulis” (atraktif) di mata pasar.
• Corporate restructuring seperti spin-off, M&A, atau konsolidasi lini bisnis yang redundant.
• Sayangnya, BUMN Indonesia cenderung konservatif dan lamban dalam menerapkan strategi M&A besar-besaran.
Apakah Danantara siap melakukan restrukturisasi besar ini? Tanpa keberanian “bersolek”, monetisasi aset hanya akan menjadi jargon tanpa hasil.
5.3. Ekspansi Global: Mudah Diucapkan, Sulit Direalisasikan
Ekspansi luar negeri menjadi pilar sukses Temasek. Namun bagi Danantara:
• Bagaimana memilih pasar yang prospektif di luar negeri?
• Apakah SDM Danantara siap menghadapi risiko bisnis di pasar global yang kompleks?
• Di dalam negeri pun belum ada kejelasan sektor prioritas: apakah Danantara akan fokus ke EBT, jalan tol, transportasi massal, atau sektor lain?
Tanpa peta jalan yang jelas, ekspansi global hanya akan menjadi jargon, tanpa arah dan risiko strategis yang tinggi.
6. Studi Kasus: Temasek Holdings
• Temasek adalah holding fund, bukan operator, yang hanya berperan sebagai pemilik saham strategis di DBS, Singtel, dan lainnya.
• Temasek berhasil memisahkan fungsi investasi dan operasional, sehingga perusahaannya tetap agile dan efisien di sektor masing-masing.
• Temasek juga melakukan global diversification yang agresif ke Eropa, Amerika Serikat, dan emerging markets.
7. Kesimpulan
Bahaya laten Danantara terletak pada:
1. Tidak adanya pemisahan peran pemilik dan operator.
2. Budaya korporasi yang belum siap menjadi konglomerasi lintas sektor.
3. Minimnya keberanian untuk melakukan corporate engineering yang modern.
4. Ketidakjelasan dalam roadmap ekspansi global dan prioritas sektor domestik.
Danantara hanya bisa menjadi “Temasek Indonesia” jika pemerintah mampu memisahkan fungsi kepemilikan dan operasional BUMN, sambil melakukan transformasi budaya bisnis dan portofolio secara total.
*) Harun alrasyid LUBIS / Guru Besar ITB & Chairman IPKC. ( Infatstrctu Partnership & Knowledge Center)