Home Kolom PROGRAM KETAHANAN ENERGI BELUM BERGERAK ?

PROGRAM KETAHANAN ENERGI BELUM BERGERAK ?

246
0

PROGRAM KETAHANAN ENERGI BELUM BERGERAK ?

 Oleh Memet Hakim, Senior Agronomi Kelapa Sawit, Dewan Penasihat APIB & APP TNI

Jika Gerakan Ketahanan Pangan telah terlihat hasilnya, cadangan nasional sudah mencapai 4 juta ton dari minimal 5 juta ton beras, Gerakan pada Ketahanan energi belum terlihat ada pergerakan, padahal simpulnya sama-sama ada di Kementerian Pertanian. Produksi minyak sawit nasional bahkan diprediksi akan turun sedikit karena adanya kemelut pada kebun bermasalah di wilayah hutan .

Pengambilan alihan lahan swasta bermasalah seluas 221.868 ha dan mungkin sampai 1 juta ha, tidak menambah areal sawit, hanya mengubah kepemilikan saham Perusahaan saja. Biasanya tahun pertama konsolidasi, akan tetapi produktivitasnya belum bisa ditingkatkan ke Tingkat yang lebih tinggi karena memerlukan waktu. Perluasan kebun sawit sebaiknya dimulai dengan menanami bank lahan yang masih tersedia. Menurut catatan penulis masih ada sekitar 3 – 3.5 juta ha lagi yang kosong.

Kebutuhan energi (BBM) nasional tahun 2024, adalah sekitar 130 juta ton (kl) terdiri dari BBM bersubsidi yakni Pertalite 32 juta kilo liter (kl) dan Solar 20 juta kl, sehingga total BBM bersubsidi 52 juta kl (CNBC Indonesia, 02 Januari 2025). Kebutuhan total seluruh BBM diperkirakan 130 Juta ton (kl), artinya BBM non subsidi ada 78 juta ton (kl).

Kemampuan produksi kilang DN hanya sekitar 600.000 barel/hari setara dengan 25 juta ton (kl)/tahun, artinya ada defisit BBM sebesar 130 juta – 25 juta ton (kl) = 105 juta ton . Seandainya mengangkat minyak fosil ditingkatkan paling banyak hanya 20% saja, yakni setara 5 juta ton (kl)/tahun, sehingga defisitnya 100 juta ton.

Kebutuhan energi untuk BBM dapat diambil dari minyak bumi dan minyak sawit. Minyak sawit dapat diolah menjadi Bio diesel (FAME), Avtur, dan berbagai jenis bensin RON 80-95. Bio diesel yang dihasilkan dari minyak sawit bilangan cetane (cetane number) nya sangat baik yakni 88 dibanding 40-48 dari minyak fosil, begitu pula bilangan oktan (Research Octan Number) nya 115 dibanding 80 pada minyak fosil. Selain itu kadar belerangnya yang dapat merusak mesin dapat dikatakan nol. Jadi keduanya jika digunakan secara murni ataupun sebagai bahan oplosan akan meningkatkan kualitas BBM tersebut.

Nah produksi minyak sawit nasional juga hanya sekitar 50 juta ton saja, jika 25 juta ton dicadangkan untuk menjaga pasar ekspor, maka tinggal 25 ton yang dialokasikan di Dalam Negeri. Minyak makan sekitar 7 juta ton, oleokimia 3 juta ton dan 15 juta ton untuk Bio diesel. Jadi dari defisit 100 juta ton dikurangi bantuan dari minyak sawit (terbarukan) sebanyak 15 juta ton, maka defisitnya menjadi 85 juta ton lagi.

Pertanyaannya bagaimana menutupi kekurangan ini? Jika seluruh kekurangan BBM ini diambilkan dari minyak sawit, maka ada 2 cara mengatasinya sbb :

1.      Intensifikasi

Peningkatan produktivitas yang selama ini masih dikisaran 35 % terhadap potensi tanamannya, hal ini terjadi karena adanya kesalahan manajemen dan minimnya pemberian pupuk.

Teknologi praktis sebagai inovasi baru dibidang rekayasa Teknik agronomi yang disebut “Manajemen Tenaga Produksi” memungkinkan peningkatan antara 30-80 persen ?

Seandainya intensifikasi dilakukan dengan baik, produktivitas niscaya akan segera naik dari 35 % menjadi 80 % terhadap potensi tanamannya. Jika saat ini produksi nasional 50 juta ton, maka akan menjadi 114 juta ton, artinya ada penambahan 64 juta ton/tahun. Artinya defisit BBM berkurang lagi dari 85 juta ton-64 juta ton yakni 21 juta ton . Peningkatan produksi minyak sawit ini dapat tercapai jika disiapkan subsidi pupuk sebesar 17 -20 juta ton pupuk campuran.

2.      Ekstensifikasi

Kekurangan 21 juta ton setara dengan 2,7 juta ha kebun sawit baru. Luas ijin kebun kelapa sawit (diluar milik rakyat) ada 20.5 juta ha, tertanam 17 juta ha, jadi tersisa 3.5 juta ha yang harus segera ditanami. Jadi sebenarnya luas lahan sawit telah terpenuhi, tetapi jika dihitung kebutuhan lahan untuk penanaman kembali, makan dibutuhkan 16 % dari 20.5 juta ha = 3.8 juta ha (dibulatkan menjadi 4 juta ha).

Lahan tidur tersedia sekitar 20 juta ha, lahan hutan sekunder yang sudah tidak produktif lagi tersedia 45 juta ha, seandaikan perluasan kebun sawit diprogramkan 10 juta ha saja, tentu lingkungan tidak terganggu. Lahan tidur dan hutan sekunder lainnya sebaiknya ditanami dengan karet, aren, sagu, dll, dll agar tetap produktif.

Dari 20.5 juta ha yang secara intensif dikelolanya maka akan keluar produksi nasional sebesar 154 juta ton, produksi ini dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan ekpor dari 25 juta ton menjadi 69 juta ton.

Perluasan kebun cukup dilakukan secara bertahap di wilayah masing-masing, jika setia unit Perkebunan dapat menanam 300 ha tanaman baru, maka setiap tahun akan ada sekitar 1 juta ha tanaman baru di Indonesia, tidak perlu membuka lahan besar seluas jutaan ha sekaligus, karena akan terjadi masalah sosial, tenaga kerja dan masalah teknis yang cukup sulit dikendalikan.

             Dengan 2 cara ini Ketahanan Energi dapat dicapai, ada penghematan devisa akibat stop impor minyak fosil dan ada penambahan devisa akibat tambahan ekspor turunan minyak sawit. Bayangkan kita setiap tahun memperkaya negeri tetangga dengan impor BBM fosil, saatnya Indonesia berdiri tegak di hadapan negara lain.

             Mengingat sebagian besar kebun sawit ini milik swasta asing, maka seluruh pemangku kepentingan perlu diberikan pengertian. Ada Perkebunan Rakyat yang menjadi binaan Dinas Perkebunan di daerah, ada Kebun sawit milik swasta dan asing jika tidak diajak dalam Gerakan ini akan merugikan negara kelak. Perkebunan milik BUMN sapai saat ini memiliki produktivitas terbaiknya, hanya perlu lebih intensif dalam mengelola kebunnya.

Bandung, 25 April 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.