Indonesia Tetap Satu: Di Antara Deru Kepentingan dan Asa
Aendra Medita*
Persatuan Indonesia bukan sekedar wilayah geografis yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
Saat ini sedang dilanda ada saling bagi wilayah, di Sumatra. Kenapa bisa demikian?
Indonesia adalah jiwa yang menyatu dalam ragam bahasa, keyakinan, adat, dan budaya. Indonesia adalah kesepakatan luhur para pendiri bangsa yang mengerti betul bahwa kekayaan sejati negeri ini bukan terletak pada emas, minyak, atau tanah luas—melainkan pada keberagaman yang terikat dalam satu kata sakral: persatuan.
Jika hari ini, ada yang mengusik diam-diam. Ada bayang-bayang kelam yang menari di panggung kekuasaan. Mereka bukan musuh dari luar. Justru merekalah yang berdiri di balik mikrofon-mikrofon megah, duduk di kursi empuk pengambilan kebijakan, berseragam lengkap seolah-olah patriot sejati.
Tapi di balik topeng nasionalisme itu, ada kepentingan yang siap mencabik-cabik Indonesia menjadi serpihan demi serpihan demi kekuasaan. Mereka tidak ingin Indonesia bersatu. Sebab bagi mereka, persatuan rakyat adalah penghalang bagi ambisi rakusnya. Mereka hidup dari konflik, kenyang dari adu domba, dan merasa aman jika sesama anak bangsa saling curiga, saling menyalahkan, saling menjauh. Mereka berbaur dengan isu agama, mengadu lewat ras, dan menunggangi ideologi demi menguasai negeri ini secara diam-diam.
Tapi saya yakin, Indonesia tidak mudah pecah. Karena di hati rakyat kecil—petani di kaki gunung, nelayan di tepian laut, guru di pelosok desa—masih tersimpan harapan akan negeri yang adil dan utuh. Mereka mungkin diam, tetapi tidak tunduk. Mereka tidak berteriak, tetapi sadar.
Bahwa Indonesia adalah warisan untuk anak cucu, bukan properti elite yang bisa diperjualbelikan.
Saya ini mengutip Nelson Mandela: “Anda mengambil garis depan ketika ada bahaya. Maka orang akan menghargai kepemimpinan Anda.” (Berdirilah di garis depan saat bahaya datang. Maka orang akan menghargai kepemimpinanmu.)
Nampaknya hari ini kita memerlukan pemimpin seperti dia—yang berdiri di depan bukan hanya untuk foto atau pidato, tapi benar-benar menimbulkan perpecahan. Kita juga harus jujur, bahwa tantangan terbesar kita hari ini bukan penjajah asing, tapi penjahat dari dalam negeri—mereka yang menjual sumber daya ke luar, tapi membiarkan rakyat hidup dalam kekejian.
Mereka yang menjanjikan demokrasi, tapi mengeluarkan suara-suara yang kritis. Mereka yang menyebut diri nasionalis, tapi menghisap kekayaan negeri ini hingga kering.
Sebenarnya Soekarno sudah mengingatkan kita: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dan memang benar.
Kita tidak sedang melawan senapan, tetapi narasi-narasi penuh. Kita tidak lagi melawan kekuatan asing yang datang menjajah, tetapi sesama anak bangsa yang lupa pada janji kemerdekaan. Indonesia tetap satu—bukan karena pemerintah, bukan karena partai, tetapi karena rakyat yang sadar akan akar sejarahnya.
Kita harus melawan ketidakpedulian. Bersatu. Menjaga. terus jadikan Indonesia yang hakiki. Karena hanya itu yang membuat Indonesia tetap utuh, damai dan berniilai luhur.
Bangsa ini akan terus hidup selama rakyatnya menjaga harapan. Indonesia bukan sekadar tanah dan pulau-pulau. Indonesia adalah ide yang diperjuangkan. Sebuah janji yang terikat dalam darah, air mata, dan sejarah panjang. Mari kita jaga janji itu. Mari kita pastikan bahwa anak-anak kelak tidak akan bertanya, “Apa yang kalian lakukan saat Indonesia mulai “dipecah?” akan minta pulau yang sejarahnya jelas. Haiiii Mereka akan dan harus tahu: kita berdiri. Kita melawan yang dzolim. Kita menjaga Indonesia tetap satu dan tetap pada cara adab dan wibawa tabik…!!!
*) jurnalis.
Bandung, 14 Juni 2025