RAKYAT MAKIN MISKIN, PEJABAT MAKIN KAYA PERLU REFORMASI SISTEM KEUANGAN
Memet Hakim
Pengamat Sosial, Wanhat APIB & APP TNI
Sungguh ini merupakan fakta yang sangat menyedihkan, bayangkan orang miskin menurut BPS 2025, ditahun 2024 “hanya” 32.99 % atau 92.57 juta orang, itupun dengan standar pendapatan orang miskin “yang tidak masuk akal” yakni Rp 595.242 per bulan. Jika dibagi 30 hari/bulan jumlahnya menjadi Rp 19,841/hari, hanya cukup untuk makan sehari sekali, tiap hari harus berpuasa. Inilah kondisi negeri ini selama dipimpin oleh rezim korup no 2 sedunia versi OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project).
Lebih parah lagi jika menggunakan data laporan Bank Dunia, Macro Poverty Outlook, April 2025, pada April 2024 saat yang sama penduduk miskin Indonesia ada 60.3 % atau sejumlah 171.8 juta orang, “dengan standar yang lebih masuk akal” yakni 6.85 usd atau setara dengan Rp 109,600/hari atau Rp 3.228.000/bulan. Standar ini mirip angka UMR sehingga dapat makan sehari 3 x. Sangat menyedihkan memang 60.3 % atau 171,8 bangsa Indonesia tergolong miskin.
Kedua angka ini menggambarkan betapa kemiskinan sudah menjadi masalah besar, bukankah ini merupakan musuh bersama ? Dilain pihak para pejabat semakin kaya. Mereka mendapatkan kekayaan ini dengan berbagai cara mulai dari korupsi, menipu, memeras, merampok sampai memenjarakan orang yang berlawanan sikap. Pemerintah sendiri justru ikut memeras rakyat dengan cara meningkatkan pajak dan menerapkan berbagai peraturan yang membuat rakyat tetap miskin. Sungguh ini merupakan kejahatan sistematis, rakyat sebagai pemilik negri ini dipelihara agar tetap miskin agar suaranya dapat diatur.
Jika saja presiden Prabowo menugaskan semua pembantunya untuk meningkatkan produktivitas pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan dengan berbagai fasilitas insentif, seperti pupuk subsidi, perahu kapal subsidi, dan lainnya, pendapatan petani akan bertambah banyak, artinya uang yang beredar juga akan bertambah. Dilain pihak khusus untuk Perusahaan asing harus dibatasi dan diberikan kewajiban melakukan production sharing contract dengan pemerintah cq BUMN.
Liputan6.com, Jakarta, 27 Mei 2024, Bank Indonesia mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2, uang kartal, uang giral, dan uang kuasi) pada April 2024 mencapai Rp 8.928,0 triliun. APBN 2024 : Rp 2.467,5 trilyun. Artinya ada uang beredar diluar APBN sebesar Rp 6,461 (setara 260%, APBN) atau Rp 1.89 juta/orang/tahun. Kita ketahui pula bahwa 70 % uang berkumpul di pusat termasuk uang APBN, artinya uang ditangan rakyat hanya sekitar Rp 570 ribu/bulan. Jumlah ini bukan cash (kartal) saja tetapi termasuk uang giral dan kuasi. Ini benar-benar diluar nalar sehat.
Belum lagi dana APBN hanya 30 % dikirim ke daerah, yang 70 % dikelola pusat, artinya hanya orang pusatlah yang menikmati uang ini, tidak heran jika tindak pidana korupsi lebih banyak dilakukan di pusat.
Untuk memperbaiki kondisi perekonomian kita, sangat diperlukan perubahan kebijakan keuangan, a.l perbesar aliran dana ke daerah, menambah dana yang beredar di daerah. Sebagai contoh keteladanan misalnya kurangi gaji dan fasilitas DPR karena sangat menyolok jumlahnya Rp3.325 triliun untuk 580 anggota DPR, DPD atau reratanya Rp 478 juta/bulan. Bandingkan dengan mayoritas pendapatan rakyat sebesar Rp 3.2 juta/bulan (149 x lebih besar). Jika dibandingkan dengan klasifikasi BPS dimana yang miskin diasumsikan mengeluarkan Rp 582 ribu, maka anggota DPR mendapatkan perbandingannya menjadi 1: 821. Bukan main timpangnya, ini kesenjangan yang brutal, apalagi jika dibandingkan dengan pendapatan para taipan rakus entah berapa ribu kali perbedaannya.
Mengurangi dan memiskinkan anggota DPR tentu merupakan langkah positip, karena kelak hanya orang yang mau berbakti pada negara saja yang mau menjadi anggota DPR. Gaji anggota DPR, ASN dan bahkan para pejabat harus dikaitkan dengan pendapatan rakyat miskin, misalnya 10 atau 15 x lipat stand orakyat miskin. Tidak ada lagi orang berebut bahkan sampai mengeluarkan milyaran rupiah sekedar jadi anggota DPR. Dengan miskinnya anggota DPR, mereka terpaksa harus memikirkan kemakmuran rakyat, karena terkait dengan pendapatannya.
Kondisi ini harus segera dibenahi dengan kebijakan ketat uang keluar (tight money policy), batas uang keluar kecuali untuk impor barang yang sangat dibutuhkan. Tingkatkan ekspor agar uang dapat masuk ke Indonesia. Perusahaan asing diminta agar tidak menyimpan uang di luar negeri, jika tidak setuju, perusahaannya diambil alih pemerintah. Manfaatkan BUMN agar berperan lebih besar dan memberikan devidennya minimal 10 % dari aset setiap tahunnya. Dari Rp10.401,5 triliun, harus didorong menyetorkan dividen sebesar 1.000 trilyun setiap tahunnya (saat ini hanya 85 trilyun), sehingga menteri BUMN tidak lagi bebas memnjadikan BUMN sebagai sapi perah.
Untuk meningkatkan ekspor, berikan pupuk subsidi untuk komoditi perkebunan dan pertanian agar produksinya meningkat, dorong perikanan laut dan darat untuk ekspor, begitunya bahan2 pakan ternak dan hasil industri diberikan kesempatan selebar-lebarnya untuk ekspor. Cabut UU Omnibus law yang memperkaya pengusaha itu. Kirim kembali TKA secepatnya, karena uang yang beredar banyak tersedot untuk mereka. Banyak cara untuk meningkatkan ekspor, asalkan para menterinya memiliki kemampuan teknis dan manajerial yang baik. Saatnya para professional menggantikan politikus disegala bidang. Permudah dan dorong ekspor dengan insetif yang menarik.
Perlakukan profit atau production sharing bagi seluruh Perusahaan asing, diperkirakan ada tambahan uang masuk sebesar 2,000 trilyun, sehingga pajak dapat diturunkan. Peingkatan produksi akibat pupuk subsisi akan langsung dinikmati oleh rakyat dipedesaan, insentif di industrI akan langsung diterima Perusahaan dan tentunya para karyawannya dapat ikut menikmati.
Untuk itu perlu kembali ke UUD 45, sebagai dasar pijakan politik dan ekonomi. Kalau tidak sekarang mau kapan lagi pemerintah bekerja untuk rakyat ? Jika presidennya mau bekerja untuk rakyat, tetapi menterinya bekerja untuk pengusaha atau pihak lain tentu tidak akan berhasil. Niat baik presiden saja tidak cukup untuk mensejahterakan rakyat, butuh kesungguhan dan keberanian.
Bandung, 17.06.2025