EDITORIAL : BBM Jual Rp 13.000 Rugi Triliunan, Malaysia Jual Rp 6.700 Untung Ratusan Triliun? Benarkah?
Sebuah gambar viral tersebar di media sosial, memperlihatkan perbandingan mencolok antara harga Pertamax di Indonesia dan Malaysia. Tulisannya menyengat: “Indonesia jual Pertamax Rp13.000, rugi Rp5 triliun. Malaysia jual Pertamax Rp6.700, untung Rp280 triliun.”
Bagi publik awam, ini bisa membangkitkan kemarahan sekaligus rasa malu. Kok bisa, negara sebesar Indonesia, dengan perusahaan energi raksasa seperti Pertamina, justru disebut rugi ketika menjual bahan bakar dengan harga lebih tinggi dari Malaysia?
Benarkah Malaysia bisa untung triliunan padahal menjual lebih murah? Mari kita buka satu per satu logika yang tersembunyi di balik narasi “murah tapi untung” vs “mahal tapi rugi” ini.
Tidak Semua BBM Itu Sama
Pertama, kita harus tahu bahwa BBM di kedua negara tidak bisa dibandingkan secara lurus. • Pertamax di Indonesia adalah bahan bakar nonsubsidi dengan nilai oktan (RON) 92. • Di Malaysia, BBM dengan RON 95 disebut RON95, dan dijual dengan harga sekitar 2 Ringgit Malaysia (RM) atau sekitar Rp6.700. RON95 di Malaysia disubsidi oleh negara. Sementara Pertamax di Indonesia adalah produk komersial, bukan sepenuhnya disubsidi. Ini poin penting yang sering luput.
Kedua: Struktur Industri Energi yang Berbeda Malaysia memiliki Petronas, perusahaan milik negara yang tidak hanya menjual BBM, tetapi juga: Mengekspor minyak mentah dan gas alam cair (LNG), Memiliki ladang migas di berbagai negara, Menjadi pemain global dengan strategi investasi energi hulu dan hilir.
Petronas adalah mesin uang negara. Menurut laporan keuangan 2023, keuntungan Petronas secara global mencapai lebih dari RM80 miliar, atau sekitar Rp280 triliun. Tapi ini bukan murni dari penjualan BBM murah di dalam negeri—melainkan dari operasi global.
Sementara itu, Pertamina harus melayani pasar domestik yang luas, dengan infrastruktur distribusi yang mahal, dan tekanan politik untuk menjaga harga agar tidak memberatkan rakyat. Pertamina juga menanggung tugas sebagai public service obligation (PSO).
Apakah Indonesia Rugi Jual BBM Rp13.000? Angka “rugi Rp5 triliun” yang beredar kemungkinan mengacu pada selisih antara biaya pengadaan dan harga jual Pertamax yang tidak sesuai keekonomian. Tapi ini bukan kerugian dalam arti bangkrut atau gagal, melainkan bagian dari struktur subsidi dan kompensasi harga yang diatur pemerintah.
Faktanya, subsidi dan kompensasi energi di Indonesia diatur dalam APBN. Dalam RAPBN 2025, anggaran subsidi energi dialokasikan sekitar Rp300 triliun, termasuk untuk LPG, listrik, dan BBM. Pertamina sebagai BUMN kemudian menerima kompensasi atas selisih harga jual dan harga keekonomian.
Jadi ketika Pertamina “rugi”, itu bukan karena manajemen gagal, melainkan karena memang negara memutuskan untuk menahan harga demi stabilitas sosial.
Malaysia Murah Karena Petronas Kaya Malaysia bisa menjual BBM murah karena Petronas sangat untung dari sektor energi global. Mereka punya efisiensi kilang, rantai distribusi yang kompak, dan tidak sebanyak Indonesia dalam hal distribusi ke wilayah terpencil.
Selain itu, Malaysia masih surplus migas. Indonesia? Sejak 2004, kita adalah net importer, artinya kita impor lebih banyak daripada ekspor minyak.
Kondisi ini membuat harga BBM sangat terpengaruh oleh nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, dan ongkos distribusi. Jadi, tidak semudah “jual murah = untung”.
Yang Perlu Dilakukan Indonesia Dibanding terus membandingkan harga dengan Malaysia, ada beberapa hal strategis yang harus dilakukan Indonesia:
Bangun kilang baru dan revitalisasi yang lama agar pengolahan lebih efisien. Dorong hilirisasi migas dan energi terbarukan, agar kita tidak terus tergantung pada BBM fosil.
Perkuat posisi Pertamina sebagai pemain global, bukan hanya SPBU nasional.
Tingkatkan transparansi data subsidi dan kompensasi energi, agar publik paham kenapa harga ditetapkan sedemikian rupa.
Energi: Antara Logika Ekonomi dan Kebijakan Publik Energi adalah sektor strategis yang menyentuh urat nadi bangsa. Karena itu, pengelolaannya tidak semata urusan laba rugi. Ada unsur keberlanjutan, pemerataan, dan ketahanan nasional. Harga BBM tidak bisa dilihat hanya dari angka di pom bensin. Harus dilihat dari struktur biaya, subsidi, geopolitik energi, sampai strategi jangka panjang nasional. Penutup: Jangan Tertipu Gambar Viral Narasi “Rp13.000 rugi, Rp6.700 untung” itu memang memancing. Tapi publik harus diajak untuk berpikir jernih. Kita tidak sedang berlomba murah-murahan, tapi berlomba membangun kedaulatan energi. Indonesia bisa belajar dari Malaysia, tapi bukan dalam hal harga BBM murah—melainkan bagaimana membesarkan BUMN energi seperti Petronas menjadi perusahaan global yang kuat, efisien, dan menguntungkan. Dan untuk itu, kita butuh keberanian politik, arah kebijakan yang jelas, dan yang paling penting: transparansi kepada publik.
CATATAN Aendra Medita Jurnalis Senior, Pemerhati Energi, Editor Jakartasatu.com dan Energyworld.co.id