Pengiriman Minyak Dunia akan Terhambat, Jika Selat Hormuz di Tutup Iran
Selat Hormuz adalah koridor maritim sempit namun vital antara Teluk Persia dan Laut Arab, yang berfungsi sebagai jalur bagi sekitar dua pertiga pengiriman minyak dunia. Selat ini sering disebut sebagai “jalur kehidupan dunia industri.”
ENERGYWORLD.CO.ID – Menurut media Iran, Parlemen Iran telah menyetujui proposal untuk menutup selat tersebut, sambil menunggu persetujuan akhir dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi.
Ketegangan di Teluk mencapai titik kritis pada hari Minggu ketika anggota parlemen dan pejabat militer Iran mengisyaratkan niat serius untuk menutup Selat Hormuz, titik transit minyak global utama, di tengah konfrontasi militer langsung dengan Amerika Serikat dan Israel.
Menurut media Iran, Parlemen Iran telah menyetujui proposal untuk menutup selat tersebut, sambil menunggu persetujuan akhir dari Dewan Keamanan Nasional Tertinggi.
Dikutip dari Palestine Chronicle, Minggu (22/6/2025), Sara Fallahi, anggota Komite Keamanan Nasional Parlemen Iran, mengonfirmasi bahwa masalah tersebut akan dibahas dalam sesi khusus komite, menyusul eskalasi baru-baru ini.
Seorang anggota komite yang sama menyatakan bahwa Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) “siap untuk menutup Selat Hormuz jika diperlukan dan keadaan mengharuskannya.”
Wakil Komandan IRGC, Esmail Kowsari, menegaskan kembali bahwa penutupan “sudah ada di atas meja” dan bahwa keputusan akan diambil berdasarkan hal tersebut.
Sementara itu, komandan angkatan laut IRGC dilaporkan mengatakan kepada surat kabar Israel Yedioth Ahronoth bahwa selat itu dapat ditutup “dalam beberapa jam,” meskipun belum ada jadwal resmi yang ditetapkan.
Sebagai tanggapan, Wakil Presiden AS JD Vance memperingatkan bahwa setiap upaya Iran untuk mengganggu pengiriman di selat tersebut “akan menjadi tindakan bunuh diri.” Berbicara kepada NBC News, Vance juga mengklaim bahwa Washington menerima pesan tidak langsung dari Teheran beberapa jam setelah serangan militer AS baru-baru ini.
Selat Hormuz adalah koridor maritim sempit namun vital antara Teluk Persia dan Laut Arab, yang berfungsi sebagai jalur bagi sekitar dua pertiga pengiriman minyak dunia. Selat ini sering disebut sebagai “jalur kehidupan dunia industri.”
Perdebatan mengenai penutupan selat itu terjadi di tengah meningkatnya permusuhan antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat.
Minggu pagi, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa pesawat tempur Amerika telah melancarkan serangan langsung ke tiga lokasi nuklir paling penting di Iran: fasilitas Fordow, Natanz, dan Isfahan. Serangan tersebut menandai masuknya Washington secara resmi ke dalam perang Israel terhadap Iran, yang dimulai pada 13 Juni.
Kemudian pada hari Minggu, IRGC mengeluarkan pernyataan yang disiarkan di televisi yang menyatakan bahwa Washington kini telah menempatkan dirinya “di garis depan” perang.
Garda Revolusi menggambarkan serangan AS-Israel sebagai “pelanggaran mencolok” terhadap hukum internasional dan Piagam PBB, dan memperingatkan bahwa respons Iran akan melampaui “perhitungan kubu penyerang.” Setiap serangan lebih lanjut di wilayah Iran, kata pernyataan itu, akan ditanggapi dengan serangan yang akan membuat para penyerang “menyesalinya.”
Pernyataan itu juga menegaskan bahwa Iran telah mengidentifikasi lokasi lepas landas pesawat yang digunakan dalam serangan itu dan menempatkannya di bawah pengawasan.
IRGC menegaskan bahwa penyebaran luas pangkalan AS di wilayah tersebut mencerminkan kelemahan dan bukan kekuatan.
Serangan Mengejutkan
Kantor Berita Fars, mengutip sumber-sumber Iran, melaporkan bahwa Teheran tengah merencanakan “operasi kejutan” terhadap Israel sambil terus memantau pangkalan-pangkalan AS di wilayah tersebut. Tujuannya, menurut sumber-sumber ini, adalah untuk “melenyapkan Israel sebagai pangkalan terdepan Amerika” tanpa membiarkan intervensi AS menggagalkan rencana Iran.
Mayor Jenderal Mohammad Pakpour, komandan baru IRGC, berjanji bahwa serangan terhadap Israel “tidak akan berhenti,” dan menyebut ini sebagai momen yang sensitif dan rawan bagi Iran.
Sementara itu, Kolonel Iman Tajik, juru bicara Operasi True Promise 3, menggambarkan serangan udara AS sebagai “kejahatan yang nyata dan belum pernah terjadi sebelumnya,” dan menekankan bahwa operasi tersebut akan terus berlanjut sebagai respons terhadap apa yang disebutnya “agresi dan kejahatan” oleh Amerika Serikat dan Israel.
Tajik memperingatkan bahwa Iran siap menggunakan “pilihan di luar pemahaman dan perhitungan para agresor,” seraya menambahkan bahwa infrastruktur militer AS di wilayah tersebut telah ditandai untuk pembalasan.
Anggota parlemen Iran juga menegaskan bahwa negara tersebut secara serius mempertimbangkan untuk menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir sebagai tanggapan atas penargetan infrastruktur nuklirnya.
Para pejabat mengatakan serangan AS semakin merusak kepercayaan Teheran terhadap kerangka kerja dan perjanjian internasional yang dimaksudkan untuk melindungi program nuklir damai.
Serangan Israel terhadap Iran dimulai pada 13 Juni, dengan serangan terhadap fasilitas nuklir, instalasi rudal, serta tokoh militer dan ilmiah senior.
Sebagai tanggapan, Iran meluncurkan rudal balistik dan pesawat nirawak ke wilayah Israel. Perang tersebut kini telah meningkat menjadi konfrontasi militer langsung yang melibatkan Amerika Serikat, yang menandai perubahan besar dalam keseimbangan kekuatan regional. RE/EWI