EKONOMI NASIONAL “Menolak Utang, Membangun Kedaulatan: Etos Baru Pembangunan Nasional di Era Prabowo”
CATATAN REDAKSI
DI tengah gelombang perubahan global dan tekanan fiskal lintas negara, Indonesia mengambil keputusan penting yang sarat makna strategis dan moral: menghentikan pinjaman luar negeri untuk sektor perumahan dan kawasan permukiman.
Keputusan ini bukanlah sekadar penolakan atas utang. Ia adalah pernyataan tegas tentang arah baru bangsa ini—sebuah upaya untuk menata ulang arsitektur pembangunan nasional yang lebih berdikari, adil, dan berkelanjutan.
Presiden Prabowo: Keberanian Menyusun Arah Baru Instruksi Presiden Prabowo Subianto kepada Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruarar Sirait, agar menghentikan seluruh rencana pinjaman luar negeri, mencerminkan keberanian politik dalam menghadapi warisan kebijakan lama yang terlalu bergantung pada eksternalitas.
Presiden memilih untuk menyandarkan pembangunan pada kekuatan domestik, bukan pada utang yang sarat syarat dan risiko jangka panjang.
Dan sektor perumahan menjadi pionir keberanian ini—dengan anggaran nasional mencapai Rp430 triliun, tanpa sepeser pun pinjaman dari luar. Sumber pembiayaan: • Tapera FLPP: Rp120 triliun
• Penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) BI: Rp130 triliun
• Danantara (pengalihan dana KUR): Rp130 triliun • Tambahan dari APBN untuk rumah tidak layak huni: Rp40–50 triliun Total ini bukan hanya besar, tetapi juga simbolik: inilah bukti bahwa negara mampu menyelesaikan tugas konstitusionalnya tanpa perlu menggadaikan masa depan. Membalik Arah: Dari Ketergantungan ke Kemandirian Selama beberapa dekade, pinjaman luar negeri diposisikan sebagai “jalan cepat” menuju pembangunan.
Namun realitas menunjukkan, jalan tersebut kerap membawa jebakan:
• Ketergantungan fiskal
• Pembayaran bunga tinggi
• Pengalihan kontrol terhadap agenda pembangunan
(redaksi-energyworld.co.id)