Home Kolom Editorial : WALHI Terhadap Jepang Soal PLTU

Editorial : WALHI Terhadap Jepang Soal PLTU

110
0
Foto: dok. akun X Walhi

Editorial : WALHI Terhadap Jepang Soal PLTU

ADA apa dengan pendanaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU ? Solusi Palsu dan Nafsu Lama: Ketika Jepang Didemo Demi Masa Depan Energi Asia pertengahan Juni 2025, di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, sebuah protes digelar oleh WALHI bersama jaringan masyarakat sipil. Di bawah terik matahari, spanduk bertuliskan “Hentikan Pendanaan PLTU!” berkibar sebagai simbol kemarahan yang disuarakan kepada salah satu negara maju yang seharusnya sudah beralih ke praktik transisi energi yang berkeadilan.

Tapi justru, Jepang dianggap menebar “solusi palsu” ke seluruh Asia. Di balik teknologi berlabel hijau seperti co-firing, carbon capture and storage (CCS), hingga amonia dan hidrogen yang digaungkan Jepang melalui inisiatif seperti AZEC (Asia Zero Emission Community) dan strategi GX (Green Transformation), tersembunyi seperti ada agenda lama: memperpanjang umur pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar fosil.

Solusi Hijau yang Abu-abu Kita perlu jujur.

Teknologi seperti CCS memang menjanjikan pengurangan emisi—di atas kertas. Tapi di lapangan, ia memerlukan investasi besar, konsumsi energi tinggi, dan efektivitas yang masih belum teruji secara massal. Begitu pula co-firing, yang mencampur batu bara dengan biomassa (seperti serpihan kayu), disebut-sebut sebagai langkah hijau. Co-firing adalah pembakaran dua bahan bakar berbeda dalam sistem pembakaran yang sama. Bahan bakar dapat berupa bahan bakar padat, bahan bakar cair atau gas, dan sumbernya baik fosil maupun terbarukan

Namun, tuntutan pasokan biomassa justru membuka pintu bagi deforestasi besar-besaran dan konflik agraria baru. Alih-alih mempercepat transisi energi bersih, pendekatan ini lebih mirip “lipstik hijau” bagi batu bara—membungkus masa lalu dalam jargon masa depan.

Asia dalam Cengkeraman Transisi Semu Jepang, melalui lembaga seperti JICA, JBIC, hingga raksasa perbankan seperti MUFG, Mizuho, dan SMBC, terus menggelontorkan dana miliaran dolar ke proyek-proyek energi berbasis fosil di negara-negara Asia Tenggara.

Data dari beberapa lembaga menunjukkan bahwa dalam satu dekade terakhir, Jepang telah menyalurkan hingga USD 93 miliar untuk proyek minyak dan gas secara global—dan sebagian besar di antaranya mengalir ke kawasan yang sedang berkembang.

Apa yang disebut sebagai “transisi energi” dalam banyak proyek itu hanyalah perpanjangan usia infrastruktur lama. Ini bukan transformasi; ini stagnasi berbalut retorika inovasi.

Tuntutan dari Akar Rumput Protes WALHI dan jaringan sipil tidak hanya menolak proyek fosil Jepang. Mereka menuntut: Hentikan pendanaan PLTU, LNG, dan proyek fosil lainnya. Tolak solusi palsu berbasis teknologi tinggi tapi dampak sosial-lingkungan minim diperhitungkan. Alihkan investasi ke energi terbarukan yang berkeadilan, inklusif, dan melibatkan masyarakat.

Lebih jauh, mereka mengkritisi absennya suara perempuan dan komunitas lokal dalam proyek-proyek besar ini. Di banyak wilayah terdampak, justru perempuan dan petani lah yang pertama kali merasakan polusi, kerusakan lingkungan, dan konflik lahan. Mereka hanya dihitung sebagai “penerima manfaat,” tapi tidak pernah dimintai persetujuan.

Energi yang Adil, Bukan Sekadar Bersih Transisi energi seharusnya bukan sekadar berpindah dari batu bara ke listrik. Ia harus menyentuh akar sistem: siapa yang memiliki energi? Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dikorbankan?

Indonesia dan negara Asia lainnya butuh dukungan untuk mengembangkan energi surya, mikrohidro, panas bumi, dan solusi lokal berbasis komunitas. Bukan sekadar menerima “paket teknologi” dari luar yang belum tentu sesuai kebutuhan dan ekosistem sosial. Jika Jepang benar-benar ingin menjadi pemimpin iklim, maka pendekatannya harus berubah. Dari pendana proyek, menjadi mitra transformasi yang adil.

Akhirnya bahwa Masa Depan Tak Bisa Ditebus Dengan Polusi Bertajuk Inovasi Solusi palsu adalah jebakan. Ia memberi harapan semu dan melanggengkan kekuasaan ekonomi lama. Tapi gelombang perubahan sudah datang—dari aktivis, dari kampung-kampung, dari generasi yang menolak hidup di bawah langit penuh jelaga.

Jepang (dan dunia) punya pilihan: tetap berinvestasi pada masa lalu yang rapuh, atau bergandengan tangan menuju masa depan energi yang sungguh-sungguh adil, bersih, dan berakar pada kehidupan, bukan laba semata.***(ed.jaksat/ame)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.