Gas Mahal, Industri Tuding PGAS Tak Patuh HGBT hingga Ancam PHK
ENERGYWORLD.CO.ID – Kalangan industriawan menyebut harga gas yang dijual oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN mendapatkan lebih mahal dari harga yang dipatok dalam Keputusan Menteri ESDM soal penyaluran gas murah melalui program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Menurut peraturan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) , seharusnya HGBT dibedakan berdasarkan pemanfaatan gas bumi, yaitu; sebagai bahan bakar seharga US$7/MMBtu ( million british thermal unit ) dan untuk bahan baku industri senilai US$6,5/MMBtu.
Hal itu mengacu pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 76.K/MG.01/MEM.M/2025 tentang Kedua Perubahan atas Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 91.K/MG.01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu yang ditandatangani Menteri ESDM Bahlil Lahadalia pada Rabu, 26 Februari 2025.
“Ya, PGAS tidak mematuhi Perpres HGBT dan Kepmen HGBT US$7/MMBtu. Kami sangat keberatan karena harga tinggi menggerogoti daya saing manufaktur,” kata Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan saat dihubungi, dikutip Minggu (29/6/2025).
Yustinus menuturkan perusahaan penerima manfaat HGBT membayar harga gas sesuai ketentuan atau US$7/MMBtu hanya untuk sekitar 70% realisasi volume. Sementara itu, sisanya membayar harga regasifikasi sebesar US$16,88/MMBtu.
“Ini bukan harga normal, ini harga abnormal untuk industri,” ujar Yustinus.
Dia memerinci pelanggan tidak memiliki pilihan apa pun karena tidak ada alternatif pasokan gas bumi melalui pipa selain pipa PGN.
Di sisi lain, pelanggan nyaris tidak memiliki energi alternatif karena semua peralatan telah diganti dengan penggunaan gas. Apalagi bila gas bumi ditetapkan sebagai bahan baku utama untuk industri, maka pelaku usaha terpaksa harus membayar harga yang ditetapkan oleh PGN.
“Tanpa pilihan, gas harus dibeli dari PGN. Ambil atau tinggalkan [ambil atau tinggalkan] berapapun harganya,” imbuh dia.
PHK Ancaman
Lebih jauh lagi, Yustinus menyebut industri manufaktur dapat mengalami deindustrialisasi dini akibat permasalahan harga gas tersebut.
Apalagi dia menggarisbawahi, kondisi tersebut berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan demikian, kata dia, target pertumbuhan ekonomi yang dipatok sebesar 8% membuat jauh dari api.
Dalam kaitan itu, Yustinus meminta PGN dapat mengimplementasikan Kepmen ESDM No. 76/2025 tentang HGBT serta dapat merealisasikan volume sebesar 100% tanpa alasan apa pun.
“Karena Menteri ESDM sudah menetapkan volume dan harga, [mulai] dari sumber gas, oleh penyalur gas, PGN, sampai perusahaan pengguna,” ucapnya.
Pipa gas alam cair atau LNG./Bloomberg-Milan Jaros
Pasokan Hulu
Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Produsen Sarung Tangan Karet Indonesia (IRGMA) Rudy Ramadhan menuturkan harga gas mahal disinyalir terjadi akibat pasokan gas pipa dari hulu berkurang.
Industri yang bukan penerima HGBT, secara 100% akan dikenakan harga regasifikasi sebesar US$14,97/MMBtu untuk wilayah Jawa Barat.
Rudy menilai harga ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga pipa gas yang sebelumnya diterima oleh industri bukan penerima HGBT yaitu sebesar US$9,16/MMBtu.
Rudy menjelaskan penetapan harga yang ditetapkan PGN tersebut berdampak pada kenaikan biaya produksi sebesar bisa mencapai 3% bahkan industri smelter atau bisa mencapai 14%.
Lebih jauh lagi, kenaikan harga gas tersebut berdampak pada menurunnya efisiensi utilitas serta pabrik, dan melemahnya daya saing produk industri di pasar domestik maupun internasional.
“Turut memicu pengurangan risiko energi kerja serta menciptakan dampak terhadap penghentian usaha dan iklim investasi di sektor industri pengguna gas bumi,” jelasnya.
Menyanggapi isu tersebut, Direktur Utama PGN Arief S Handoko mengatakan pada saat Kepmen ESDM Nomor 76 dan 77 Tahun 2025 ditetapkan oleh Menteri ESDM, PGN langsung menerapkan HGBT kepada pelanggan sambil menyelesaikan dokumen yang diperlukan dengan pemasok gas bumi hulu.
Akan tetapi, realisasi pasokan sangat bergantung pada ketersediaan pasokan gas dari hulu dan kondisi operasional. PGN mengikuti kebijakan pemerintah untuk memprioritaskan pemanfaatan gas bagi konsumen HGBT.
“Pada saat terdapat pasokan pipa gas yang mencukupi, PGN pun akan menyesuaikan pasokan kepada pelanggan sehingga pelanggan tetap mendapatkan pasokan dengan harga yang terjangkau selain pasokan yang berasal dari LNG,” ujar Arief saat dimintai konfirmasi.
Terkait dengan menurunnya pasokan gas pipa yang ada apabila tidak terdapat peningkatan kondisi operasional untuk pasokan melebihi volume HGBT, PGN akan menyesuaikan secara berkala karena menggunakan harga gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) LNG yang mengikuti pergerakan harga minyak bumi dunia.
“Kami berterima kasih kepada pemerintah atas upaya menurunkan harga LNG hulu yang juga mempertimbangkan keterjangkauan dari pelanggan untuk menjaga pertumbuhan perusahaan dan juga industri,” jelasnya.
Pokoknya Arief tekanan pelaksanaan HGBT sudah sesuai Kepmen ESDM. PGN pun mendukung kebijakan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri ESDM.
“Sehingga kurang tepat apabila dinyatakan PGN tidak mematuhi presiden,” kata Arief.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenperin Febri Antoni Arief mengungkapkan PGN kerap menjual harga gas di atas dari ketentuan HGBT untuk bahan baku yang dipatok senilai US$6,5/MMbtu.
“Harga gas [untuk bahan baku] industri itu sudah ada regulasinya, namun praktiknya seringkali harga gas yang sampai kepada industri itu, ada yang membeli harga gas di atas US$6,5/MMbtu,” ujar Febri kepada wartawan di Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Febri pun juga kembali melontarkan alasan kenapa PGN tidak bisa menyuplai harga gas khusus industri bahan baku sesuai dengan keputusan Menteri ESDM tersebut.
Hal ini kata dia, juga kerap dikeluhkan oleh kalangan industri karena kebijakan HGBT yang diterapkan oleh pemerintah masih belum maksimal, berikut dengan ketidaksesuaian harga perusahaan gas negara sebagai penyalur.
“Sebaiknya kawan-kawan tanya kepada BUMN produsen gas, kenapa kok mereka tidak bisa menyuplai gas untuk industri sesuai dengan keputusan Presiden?” tutur Febri. **
sumber Bloomberg Technoz