
Ada 3 Penyebab Di Era Jokowi Gagal Bawa Investasi Rp1.500 Triliun ke Indonesia
ENERGYWORLD.CO.ID — Investasi senilai Rp1.500 triliun gagal masuk ke Indonesia pada tahun 2024. Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi/Wakil Kepala BKPM Todotua Pasaribu mengatakan ada sejumlah faktor yang membuat investasi gagal masuk ke RI, di antaranya perizinan hingga kebijakan yang tumpang tindih.
“Persoalan-persoalan seperti ini, perizinan iklim investasi yang tidak kondusif, kebijakan tumpang tindih dan lain-lain, memang harus menjadi catatan dan refleksi kita bersama-sama,” katanya, Kamis (3/7) seperti dikutip dari Antara.
Menurutnya, masukan dari berbagai pemangku kepentingan sangat diperlukan untuk menyempurnakan kebijakan yang sudah ada. “Tentunya ada konsep yang Kementerian kami sudah siapkan,” katanya.
Sebelum Todotua menyebut masalah tersebut, pemerintah pun sebenarnya sudah mengungkap masalah dan semuanya sama. Mereka juga telah mengeluarkan sejumlah jurus agar investasi bisa deras masuk.
Berikut 3 penyebab gagal investasi di antaranya
1. Omnibus Law
Senjata Omnibus Law atau UU Cipta Kerja di Indonesia dibahas dan dimulai pada era pemerintahan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi). Beleid ini bertujuan untuk mendorong regulasi dan mendorong investasi.
Pada tanggal 5 Oktober 2020, UU Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja disetujui setelah pembahasan yang cepat dan kontroversial.
Ada beberapa poin penting yang diatur dalam uu ini; penyederhanaan proses perizinan investasi, perubahan perhitungan upah yang lebih pro pengusaha dan lain-lain.
Namun pada bulan November 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena pembahasannya tidak sesuai dengan aturan dan tidak memenuhi unsur keterbukaan. MK kemudian memberikan waktu dua tahun untuk perbaikan.
Pada tahun 2022, Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan bersyarat inkonstitusional.
Pada Maret 2023, DPR kemudian secara resmi menyetujui Perppu Nomor 2 Tahun 2022 menjadi undang-undang.
Namun sayangnya polemik Omnibus Law dinilai menghambat masuknya investasi ke Indonesia. Hal tersebut disampaikan Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet.
Dia mengatakan UU Cipta Kerja tidak efektif. Aturan itu, ucapnya, dibuat dengan menyalahi aturan. Oleh karena itu, undang-undang tersebut tidak dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan harus direvisi.
Yusuf menilai hal itu menimbulkan ancaman hukum bagi investor. Alih-alih memperlancar investasi seperti tujuan awal UU Ciptaker malah menimbulkan keruwetan baru.
“Ini sebenarnya merupakan muara dari yang tadi kita diskusikan sebelumnya, masalah regulasi. Regulasinya itu berubah jadi karena itu tadi proses pun terburu-buru,” ucapnya.
Senada, Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan Omnibus Law melalui Undang-Undang Cipta Kerja awalnya memang digagas sebagai solusi untuk menggerakkan regulasi dan mempercepat investasi. Pemerintah menjanjikan kemudahan, penyederhanaan perizinan, dan penguatan daya saing ekonomi nasional.
Namun dalam praktiknya, uu ini justru melahirkan baru yang tidak kalah serius.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2021 yang menyatakan UU Cipta Kerja bersyarat inkonstitusional telah mencakup kredibilitas hukum dari undang-undang tersebut.
2. Pembentukan Satgas Saber Pungli
Jokowi sebelumnya juga telah membentuk Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) pada Oktober 2016 lalu lewat Perpres Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar untuk melancarkan aliran investasi di dalam negeri.
Satgas Saber Pungli yakin akan mampu anggotanya mempraktikkan pungutan pembohong, baik di tingkat pusat maupun daerah yang selama ini membuat pengusaha laki-laki berinvestasi di Indonesia.
Pungli memang kerap monster menjadi pengganggu investasi. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi mengatakan membangun usaha di daerah sulit karena sering diminta biaya tambahan oleh sejumlah pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat.
“Yang kami rasakan ternyata banyak sekali pungli (pungutan pembohong) di daerah. Kami di daerah tidak seperti di DKI, kebijakan yang menghadap berbeda dan halalkan mereka, kalau kita istilahnya under table, selalu banyak,” katanya dalam konferensi pers Dialog Capres Bersama Kadin: Menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta, Rabu (10/1).
Diana mengatakan kondisi itu membuat biaya membuka usaha di daerah menjadi lebih tinggi. Ia pun menyayangkan pemda yang tidak menindak tegas pihak yang melakukan pungutan pembohong (pungli) tersebut.
Namun sayangnya Satgas Pungli tidak menghasilkan hasil. Pungli masih tetap merajalela. Pungli yang teranyar malah dilakukan oleh Kadin Cilegon.
Ketua Kadin Cilegon Muhammad Salim dan dua anggotanya diduga melakukan intimidasi dan memaksa PT Chengda Engineering Co Ltd., untuk mendapatkan jatah proyek senilai Rp5 triliun tanpa melalui proses lelang.
Tak lama kemudian, mereka ditetapkan sebagai tersangka.
Sementara itu, Satgas Saber Pungli telah dibubarkan oleh Presiden Prabowo Subianto melalui (Perpres) RI Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pencabutan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.
“Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 202), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi Pasal 1 pada Perpres tersebut, dikutip Kamis (19/6).
Dalam pertimbangannya, keberadaan Satgas Saber Pungli dinilai sudah tidak efektif sehingga perlu dibubarkan.
3. Perizinan investasi OSS
Perizinan investasi OSS (Online Single Submission) adalah sistem perizinan yang berusaha terintegrasi secara elektronik yang dikelola oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
OSS pertama kali diluncurkan pada tahun 2018. Bertujuan untuk mempercepat dan mempercepat proses perizinan usaha dan investasi di Indonesia.
Namun sayang sistem OSS tidak bekerja secara signifikan.
Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan sistem OSS yang dijanjikan sebagai “satu pintu” ternyata belum sepenuhnya menyelesaikan hambatan perizinan di lapangan.
OSS katanya adalah gagasan reformis yang bernilai tinggi, tetapi tersandera oleh praktik lama yang enggan berubah.
“Pemerintah tampak terlalu percaya bahwa digitalisasi akan secara otomatis menyelesaikan masalah birokrasi. Padahal, tanpa penyederhanaan proses, integrasi kelembagaan, dan pembenahan perilaku aparatur, sistem secanggih apa pun akan lumpuh di tangan struktur yang tidak mau berubah,” katanya.
Ia mengatakan jika pemerintah serius ingin menjadikan OSS sebagai motor pertumbuhan ekonomi, maka yang dibutuhkan bukan sekadar platform digital, melainkan pengaturan ulang menyeluruh atas tata kelola perizinan dari hulu ke hilir. RE