Home Kolom Tak Hanya Mundur dari Ketum PSSI, Erick Thohir Sepatutnya Diberhentikan dari Semua...

Tak Hanya Mundur dari Ketum PSSI, Erick Thohir Sepatutnya Diberhentikan dari Semua Jabatan Publik

2
0

Tak Hanya Mundur dari Ketum PSSI, Erick Thohir Sepatutnya Diberhentikan dari Semua Jabatan Publik

oleh : Agustinus Edy Kristianto

Tak cukup hanya mundur dari kursi Ketua Umum PSSI, Erick Thohir (ET) sepatutnya diberhentikan dari semua jabatan publik dan diperiksa atas dugaan keterlibatannya dalam sejumlah perkara hukum.

Terkini, ET diduga terkait kasus korupsi di BUMN Pertamina karena PT Adaro Indonesia — perusahaan milik kakaknya, Boy Thohir — termasuk salah satu dari 13 perusahaan yang diduga diperkaya akibat kebijakan PT Pertamina Patra Niaga yang menjual solar nonsubsidi di bawah harga pokok penjualan (HPP). Adaro disebut-sebut memperoleh keuntungan sekitar Rp168,5 miliar dari praktik tersebut.

ET juga diduga memiliki keterkaitan dengan kasus investasi BUMN Telkomsel sebesar Rp6,4 triliun di GOTO, perusahaan yang juga sebagian sahamnya dimiliki oleh kakaknya.

Selain itu, terdapat dugaan perkara yang berkaitan dengan BUMN PT Rekayasa Industri (Rekind), anak usaha PT Pupuk Indonesia, yang menggarap proyek pabrik amoniak di Banggai senilai Rp7 triliun — proyek yang disebut-sebut juga melibatkan perusahaan milik keluarganya.

Bahkan di Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Mahaka Media Tbk (ABBA) — perusahaan di mana ET tercatat sebagai pengendali utama (ultimate controller) — masuk dalam notasi khusus (papan pemantauan khusus) karena laporan keuangan terakhir (Q2 2025) mencatat ekuitas negatif atau defisiensi modal sebesar Rp86 miliar. Artinya, perusahaan itu berada di ambang krisis keuangan karena total utangnya lebih besar dari asetnya.

Selama ini, bagi saya, ET menjadikan kisah timnas sepak bola Indonesia sebagai salah satu alat politiknya untuk tetap duduk di kursi kekuasaan, sekaligus sebagai tameng agar ia “kebal hukum” — dalam arti, tidak diusut atas dugaan perkaranya, terutama ketika menjabat sebagai Menteri BUMN.

Secara terang-terangan dalam kampanye lalu, ia “menjual” timnas ketika berorasi mendukung pasangan Prabowo–Gibran. Katanya, kalau mau sepak bola Indonesia maju, coblos nomor 02.

Dalam situasi tersudut sekalipun, ketika Kementerian BUMN kehilangan pamor dan perannya tersisih oleh Danantara, ET masih diberikan kursi Menpora — yang patut diduga kuat sebagai langkah politik Presiden Prabowo, karena melihat peluang untuk mendompleng pamor jika timnas benar-benar lolos ke Piala Dunia 2026. Itu investasi politik yang menguntungkan untuk kontestasi 2029 mendatang.

Atas nama timnas pula, ET mendapatkan kredit dan keistimewaan luar biasa dari bangsa ini: pencitraan positif pribadi melalui berbagai kanal birokrasi, hingga rangkap-rangkap jabatan di berbagai lini. Tak ada yang berani atau mampu menggugat praktik-praktik yang jauh dari semangat good governance, karena ET begitu berkuasa.

Bagai dongeng, ia digambarkan sebagai lakon sempurna: religius dan berakhlak, pebisnis sukses, orang kaya idaman anak muda dan profesional, serta tokoh sepak bola dunia — padahal ia hanya sebentar menjadi pemilik Inter Milan melalui konsorsium International Sport Capital, kemudian menjualnya untuk meraup keuntungan. Ia juga diklaim sebagai pemberantas mafia bola, padahal berasal dari lingkaran kekuatan lama sepak bola Indonesia, yakni Grup Bakrie/VIVA, yang dulu menikmati banyak keuntungan dari hak siar Liga Indonesia.

Rangkap jabatannya pun keterlaluan: Menteri BUMN merangkap Ketua Umum PSSI sekaligus pemilik klub Persis Solo (bersama anak Presiden Jokowi). Artinya, regulator merangkap operator sekaligus eksekutor.

Kini, sebagai Menpora, ia masih merangkap Ketua Umum PSSI. Alasan bisa dicari-cari untuk melegitimasi rangkap jabatan, tetapi kita tahu bahwa mantan Menpora Zainudin Amali dulu justru mundur dari kabinet ketika menjadi Wakil Ketua Umum PSSI dengan alasan etika untuk menghindari rangkap jabatan.

Dari semua rekam jejak itu — rekam jejak menjadikan sepak bola sebagai alat politik dan tameng hukum — lidah ET masih bisa lentur berkata di media agar kita jangan mencampuradukkan sepak bola dan politik!

Jadi, terlepas dari masalah teknis dan nonteknis sepak bola, kegagalan timnas lolos ke Piala Dunia 2026 adalah cermin dari buruknya mental, perilaku, dan tata kelola ET beserta rombongan orkesnya.

Ingat prinsip ini:

Kejayaan akan sulit lahir dari rahim bangsa yang pejabatnya korup, penuh tipu daya, dan munafik, sementara masyarakatnya tercerai-berai dan mudah dibohongi.

Salam,
AEK

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.