UTANG KCIC: DANANTARA JADI TAMENG, BUMN KURUS KERING
*Oleh : Malika Dwi Ana
Beberapa waktu lalu, pembentukan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) sempat jadi sorotan menghebohkan. Banyak yang bertanya-tanya: apa sebenarnya tujuan dibalik segala regulasi yang mbulet dan muter-muter, serta diskusi panjang itu? Ternyata, jawabannya lebih simpel dari dugaan—yakni mengamankan pembayaran utang proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) ke China. Ya, utang sebesar Rp116 triliun dari pinjaman China Development Bank (CDB) yang dulu jadi “bom waktu” di neraca PT Kereta Api Indonesia (KAI), kini resmi bergeser jadi beban Danantara. Bukan lagi APBN, tapi holding BUMN ini yang pegang kendali. Tapi, di balik itu, ada cerita yang lebih ironis: skema “tumpangan” yang bikin BUMN kita berpotensi “kurus kering” demi lunasi utang ke negeri Tirai Bambu.
Latar Belakang: Utang KCIC yang “7 Turunan”
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Whoosh) memang prestisius, tapi biayanya membengkak. Dari rencana awal Rp60 triliun, total kini tembus Rp116 triliun—75% dari pinjaman CDB, sisanya modal saham dari konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI, 60%) dan China (Beijing Yawan HSR Co Ltd, 40%). KCIC sebagai operator patungan ini rugi Rp1,6 triliun di semester I 2025 saja, dan KAI sebagai induk PSBI ikut menanggung renteng: kerugiannya Rp1,42 triliun di paruh pertama tahun ini. Beban bunga dan cicilan utang aja sudah Rp4 triliun lebih per tahun, proyeksi 2026 bisa Rp6 triliun. Kalau dibiarkan, KAI bisa kolaps, apalagi dengan Japek II yang bakal nambah kompetisi.
Masalahnya, utang ini bersifat business-to-business (B2B), bukan utang negara langsung. Tapi realitanya, PSBI dikuasai BUMN (KAI 58,53%, Wijaya Karya 33,36%, Jasa Marga 7,08%, PTPN VIII 1,03%), jadi beban akhirnya nyangkut di pundak BUMN. Tempo hari, hebohnya Danantara dibentuk dengan pengawasan diserahkan ke bule (melibatkan konsultan internasional untuk transparansi), seolah-olah ini soal efisiensi holding. Tapi, seperti yang dibilang, tujuannya simpel, hanya ‘mak kluthik’ ajah, yaitu gimana supaya utang ke China bisa dibayar tanpa membuat negara default. China khawatir akan ketidakmampuan bayar, makanya negosiasi restrukturisasi sedang intensif dilakukan Danantara dengan National Development and Reform Commission (NDRC) China.
Skema Penyelesaian: Dua Opsi dari Danantara
Danantara, yang dipimpin Rosan Perkasa Roeslani (sekaligus Menko Investasi), sudah menyiapkan dua skema utama untuk beresin ini. COO Danantara Dony Oskaria bilang, ini demi menjaga keberlanjutan KAI sambil pastikan Whoosh tetep jalan—karena penumpangnya sudah 30 ribu per hari, dampak ekonominya signifikan (potong waktu tempuh Jakarta-Bandung jadi 40 menit).
Skema pertama : Suntik Equity ke KAI
Deskripsi : Tambah modal saham ke KAI/KCIC untuk nutupin utang. Danantara bakal alirkan dana dari dividen BUMN (rata-rata Rp80 triliun/tahun) secara bertahap, seperti “debit otomatis” dari rekening tabungan. Setiap cent dividen BUMN dialirin ke utang China sampai lunas.
Dampak Potensial : BUMN akan kering dalam jangka panjang—dividen yang biasa buat ekspansi atau bonus karyawan, kini diprioritaskan untuk bayar utang, sehingga China tenang.
Skema ke-dua : Ambil Alih Infrastruktur
Deskripsi : Serahkan aset rel dan stasiun ke pemerintah (mirip model kereta api konvensional: infrastruktur milik negara, operasi oleh KCIC). Utang infrastruktur (Rp111 triliun atau US$6,7 miliar) bisa direstrukturisasi jadi beban negara, tapi operasi tetep asset-light (tanpa aset berat).
Dampak Potensial : Lebih ringan buat KCIC/KAI, tapi potensi membeban APBN jika infrastruktur masuk fiskal. Ini yang bikin kontroversi.
Kedua opsi ini sedang dibahas komprehensif, termasuk reformasi struktur biaya supaya sustainable—termasuk rencana ekstensi ke Surabaya, meski Rosan bilang ini bisa kena imbas.
Purbaya: “Bukan Beban APBN Lagi, Tapi Danantara!”
Nah, ini poin krusial, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tegas bilang KCIC bukan beban APBN lagi, tapi tanggung jawab Danantara. Di Media Gathering APBN 2026 (10/10/2025), Purbaya ogah APBN ikutan nanggung, meski ada opsi pengalihan infrastruktur. Alasannya? Danantara sudah mandiri—dividen BUMN gak lagi masuk APBN via PNBP/KND, tapi langsung ke kas Danantara. “Mereka punya manajemen sendiri, dividen Rp80 triliun/tahun lebih. Harusnya dimanage dari situ, jangan ke kita lagi. Kalau enggak, semuanya ke kita, termasuk dividennya,” tegas Purbaya. Dirjen Suminto Kemenkeu tambah: ini B2B, bukan utang pusat.
Purbaya belum dihubungi resmi soal usulan Danantara, tapi dia dorong pemisahan dengan jelas antara korporasi (Danantara/BUMN) dan fiskal negara. Kalau equity injection, ya BUMN yang kurus kering—bayar utang via kesepakatan debit dividen. China gak perlu khawatir ambles, tapi BUMN kita yang kena getahnya: ekspansi terhambat, karyawan potong bonus, proyek lain mandek.
Inti Cerita: Family Office atau Skema Tumpangan?
Rencana awalnya, diduga Prabowo punya visi Danantara sebagai “family office” untuk kelola aset negara secara efisien, seperti super-holding BUMN ala Temasek Singapura. Tapi, entah pengaruh atau bisikan siapa, sehingga muncul skema “tumpangan” ini—utang KCIC jadi alasan utama. Hasilnya? Memang gak bakalan default, tapi BUMN dibikin kurus kering kayak bonsai, seperti tabungan yang kena auto-debit bulanan. Logika bodohnya: duit BUMN gede, tapi prioritasnya lunasin utang China dulu. Pengawasan oleh bule mungkin buat kredibilitas, supaya investor asing percaya Danantara gak korup.
Pada akhirnya, ini soal prioritas: infrastruktur vital kayak Whoosh harus jalan, namun jangan sampe BUMN ambruk. Kalau skema equity dipilih, ya siap-siap BUMN kita “diet” panjang. Pemerintah bilang lagi nego, tapi substansinya sama: rakyat yang bayar, cuma lewat Danantara aja biar rasio utang fiskal keliatan bagus. Semoga gak jadi bom waktu baru ya. Kalau ada update negosiasi China, pasti tambah seru. Halahhh mbuh!! (MDA)
*SorMahoni, 11102025