Home Kolom #NGOPIPAGI: Etanol, Pertamina, dan Kejujuran yang Menguap

#NGOPIPAGI: Etanol, Pertamina, dan Kejujuran yang Menguap

56
0
Ngopi Ciwidey yang syahdu dan hmmmm/am

Etanol, Pertamina, dan Kejujuran yang Menguap

PAGI ini, secangkir kopi hitam saya terasa sedikit pahit—bukan karena kurang gula, tapi karena kabar yang menyeruak soal “etanol dalam BBM Pertamina.”

Bau bensin dan politik, rupanya, kini mulai bercampur seperti minyak dan alkohol. Dan seperti yang kita tahu, keduanya tak pernah menyatu sempurna.

Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh kabar bahwa beberapa SPBU asing seperti Shell, BP-AKR, dan Vivo menolak membeli bahan bakar dari Pertamina. Alasannya sederhana tapi telak: base fuel Pertamina ternyata mengandung etanol sekitar 2,5–3,5 persen.

Sontak masyarakat bertanya-tanya — sejak kapan BBM kita dicampur etanol?

Apakah ada pengumuman resmi? Apakah masyarakat pernah diberi tahu?

Yang ironis, bukan lembaga konsumen atau pemerintah yang mengungkap hal itu, tapi justru pihak asing. Dalam dunia terbuka yang katanya “transparan”, kenapa justru warga negeri sendiri jadi yang paling terakhir tahu?

Tulisan seorang pemerhati sosial bernama Girarda menyorot hal ini dengan bahasa sederhana namun menusuk:

“Masih mending penjual tempe di pasar tradisional yang terus terang bilang tempe ini sudah tiga hari, sudah tidak bagus. Cara bisnis yang amanah, jujur, menyampaikan yang tidak terlihat oleh konsumen dengan benar tanpa manipulasi.”

Kalimat itu menggugah. Sebuah perbandingan yang pahit tapi benar.

BUMN sebesar Pertamina, dengan segala jargon keberlanjutan dan nasionalismenya, justru dikalahkan oleh kejujuran seorang penjual tempe.

Di atas kertas, rencana penggunaan etanol dalam bahan bakar sebetulnya bukan ide baru dan bukan ide buruk.

Brasil sudah melakukannya sejak 1970-an, India menyusul, Thailand pun demikian.

Campuran bensin dengan etanol — E10 atau E20 — disebut sebagai langkah menuju energi hijau dan kemandirian energi nasional.

Secara teori, ini adalah upaya baik dan berani.

Etanol bisa diproduksi dari tebu, singkong, bahkan limbah pertanian. Ia bisa membuka peluang ekonomi desa, memberdayakan petani, dan mengurangi ketergantungan impor BBM.

Namun masalahnya bukan pada ide, tapi pada cara.

Cara kita mengelola kebijakan energi sering kali seperti menuang kopi ke gelas retak: apa pun yang dituangkan, pasti bocor.

Kebijakan bagus bisa kehilangan maknanya karena dijalankan dengan tergesa, tertutup, dan tanpa empati terhadap rakyat sebagai pengguna terakhir.

Bayangkan, ada 168 juta kendaraan di Indonesia, dan 80 persennya adalah motor — milik rakyat kecil yang hidup dari ojek, kiriman, dan perjalanan harian.

Etanol mungkin membuat oktan naik, tapi juga bisa membuat mesin panas, filter berlendir, atau tangki berkarat.

Jika tidak disosialisasikan dengan baik, rakyat akan menjadi kelinci percobaan kebijakan.

Tulisan Girarda berangkat dari pengalaman pribadi: motornya sering mogok, filter bensin penuh lendir, dan baru belakangan tahu bahwa etanol bisa menjadi penyebabnya.

Etanol memang “karib” dengan udara, mudah menyerap uap air, dan bisa menimbulkan endapan jika tercampur lama.

Efeknya mungkin kecil untuk mobil baru, tapi besar bagi kendaraan lama yang belum dirancang untuk bahan bakar bercampur alkohol.

Masalah ini bukan hanya teknis, tapi etis.

Bagaimana mungkin sebuah perusahaan negara yang sebesar Pertamina, dengan struktur manajemen yang gemuk dan klaim tata kelola global, tidak membuka informasi tentang kandungan bahan bakar yang dijual ke publik?

Kenapa baru ribut ketika pihak lain menolak membeli?

Di titik ini, kita dihadapkan pada dua kemungkinan.

Pertama, ini kisah absurd — di mana kebijakan dijalankan tanpa koordinasi, tanpa komunikasi, dan tanpa penghormatan kepada konsumen.

Kedua, ini kisah cari cuan — di mana kebijakan “bioetanol” dijalankan bukan karena semangat keberlanjutan, melainkan karena ada kepentingan bisnis yang berjalan di balik layar: pabrik etanol, suplai singkong, atau proyek energi hijau yang diklaim berkelanjutan tapi sarat kepentingan.

Dua-duanya mungkin benar.

Dan di negeri kita, absurditas sering berjalan beriringan dengan cuan.

Kita tentu tidak menolak perubahan menuju energi bersih.

Kita tidak anti terhadap inovasi.

Tapi kita punya hak untuk tahu apa yang masuk ke dalam tangki kendaraan kita, seperti halnya kita punya hak untuk tahu apa yang kita makan dan minum.

Dalam bisnis publik, transparansi adalah bentuk kasih sayang terhadap rakyat.

Ketika rakyat tidak diberi tahu, itu bukan lagi kebijakan, tapi manipulasi yang berbungkus jargon.

Apalagi, di tengah gempuran kampanye “green energy”, banyak kebijakan lingkungan yang justru berubah menjadi proyek politik ekonomi — menguntungkan segelintir pihak yang memiliki modal dan akses.

Etanol bisa jadi kendaraan politik baru, bukan sekadar bahan bakar.

Di sinilah kritik moral Girarda menjadi relevan: “Berbisnislah yang amanah.”

Karena pada akhirnya, rakyat kecil tidak menuntut harga murah saja. Mereka menuntut kejujuran.

Ketika saya menulis ini, saya membayangkan kembali wajah-wajah rakyat kecil yang setiap pagi berangkat kerja di atas motor bututnya.

Mereka membeli bensin bukan karena percaya penuh pada merek, tapi karena tidak punya pilihan lain.

Mereka menaruh harapan pada negara, bahwa setiap tetes bensin yang mereka beli adalah hasil niat baik, bukan permainan di balik layar.

Pertamina, sebagai perusahaan negara, seharusnya menjadi simbol kejujuran energi.

Tapi kini, ia justru kehilangan sentuhan publik. Ia lebih sering bicara lewat rilis dan slogan ketimbang dialog.

Padahal rakyat bukan buta. Mereka mungkin tidak membaca laporan keuangan, tapi mereka bisa mencium ketidakjujuran seperti mencium bau bensin basi.

Jika kita menengok ke Brasil — negara yang sukses dengan etanol — mereka memulainya dengan komunikasi besar-besaran dan transparan.

Pemerintah mengedukasi publik tentang manfaat, risiko, dan kesiapan kendaraan.

Pabrikan mobil menyesuaikan teknologi mesin mereka.

Dan yang terpenting, tidak ada kebijakan diam-diam.

Sementara di Indonesia, kebijakan sering muncul seperti tamu tak diundang.

Tiba-tiba sudah di rumah, dan rakyat disuruh maklum.

Apalagi kalau sudah dikemas dengan jargon “demi kemandirian energi nasional”.

Kalimat itu sering jadi tameng untuk menutupi banyak hal: dari kesalahan teknis, kesalahan bisnis, sampai kesalahan moral.

Pertamina mungkin akan berargumen bahwa etanol adalah bagian dari uji coba, bahwa persentasenya kecil dan aman, bahwa dunia sudah melangkah ke arah energi hijau.

Semua benar. Tapi semua juga tak berarti apa-apa tanpa kejujuran.

Kejujuran dalam bisnis publik bukan hanya soal tidak mencuri, tapi soal memberi tahu kebenaran kepada mereka yang membayar pajak.

Ketika rakyat dibiarkan tidak tahu, mereka bukan lagi pelanggan, tapi korban dari sistem yang memonopoli kebenaran.

Dalam konteks lebih luas, kisah etanol ini menggambarkan kegagalan etika keberlanjutan di Indonesia.

Kita begitu rajin bicara sustainability di seminar dan forum CSR, tapi lupa bahwa keberlanjutan pertama-tama dimulai dari kejujuran dan akuntabilitas.

Bukan dari bahan bakar yang hijau, tapi dari hati yang jernih.

CSR (Corporate Social Responsibility) seharusnya bukan tempelan citra, tapi cara pandang dalam berbisnis.

Jika Pertamina jujur sejak awal, menjelaskan rencana etanol ini secara terbuka, rakyat justru bisa ikut mendukung.

Bayangkan jika mereka bilang:

“Kami ingin kurangi impor BBM. Kami mulai dengan etanol 2,5%, uji dulu, kami pantau dampaknya.”

Mungkin rakyat akan bilang: “Oke, kami dukung, asal jujur.”

Tapi ketika semua dilakukan diam-diam, bahkan tanpa label di pom bensin, rakyat hanya bisa merasa dikhianati.

Saya jadi ingat sebuah ironi:

Kita bisa mencetak spanduk besar bertuliskan “Bangga Produk Indonesia”, tapi kita gagal menjawab pertanyaan sederhana:

“Apa sebenarnya yang kita jual ke rakyat?”

Pagi ini, di antara aroma kopi dan keresahan, saya merasa bahwa isu etanol ini bukan soal kimia, tapi soal moral.

Dan dalam setiap cangkir kopi yang saya teguk, saya berharap negara ini kembali menemukan rasa yang paling mendasar: rasa jujur.

Etanol mungkin bisa membuat bensin lebih bersih, tapi jika niatnya kotor, hasilnya tetap akan keruh.

Negara ini tak kekurangan energi, ia hanya kekurangan amanah.Dan mungkin, saatnya Pertamina dan para pengelola energi kita belajar dari penjual tempe di pasar:

Kalau barangnya sudah basi, katakan saja dengan jujur.

Lebih baik kehilangan sedikit untung daripada kehilangan seluruh kepercayaan.

#NgopiPagi ini, memang saya dengan kejujuran karena kopi yang say asedunh dari Ciwidey, kopi yang sangat nikmat. Aroma sedap meski pahitnya masih tersisa tapi ia jujur..

Seperti kejujuran yang menguap dari setiap liter bensin yang dijual tanpa penjelasan.

Dan saya tahu, selama bangsa ini masih menutupi kebenaran dengan jargon, kita akan terus hidup di antara bau bensin, etanol, dan kebohongan.

Selamat pagi, Indonesia. Mari berbenah, sebelum rakyat benar-benar berhenti percaya.

#NgopiPagi saya ini dengan tubruk yang kuat dan hanya ini Catatan ringan tentang hal-hal yang tak ringan tapi penting.

–AENDRA MEDITA

12 Oktober 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.