Home BUMN Tarif Listrik Bisa Naik: Dari Disinformasi Jadi Nyata?

Tarif Listrik Bisa Naik: Dari Disinformasi Jadi Nyata?

377
0

Saat Sidang Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden 2019 sedang berlangsung di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), tiba-tiba sebuah kabar menarik perhatian publik. Ada informasi tarif dasar listrik akan naik sekitar 20% dan tanpa pengumuman. Informasi itu beredar pada 18 Juni 2019 lalu.

Rupanya, kabar itu bersumber dari berita lawas, tepatnya pada 2017 lalu. Ketika itu, TDL memang mengalami kenaikan. Namun, lantaran dimunculkan pada tahun ini yang notabene tidak ada kenaikan tarif, maka informasi itu jelas keliru.

Namun pada Selasa (25/6/2019), ada indikasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana untuk mengurangi atau bahkan menyetop pemberian kompensasi tarif listrik kepada PLN. Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara menjelaskan bahwa dua tahun lalu, terdapat kebijakan pemerintah untuk tidak ada kenaikan tarif listrik sampai saat ini.

“Karena tidak dilakukan ada selisih antara harga keekonomian dengan tarif yang ditetapkan,” ujarnya di gedung DPR/MPR/DPD, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Selisih tarif dan harga keekonomian ini kemudian ditanggung oleh pemerintah lewat kompensasi tarif listrik yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

“Namun, kami (Kemenkeu) tidak ingin berlarut-larut, karena itu salah satu arah kebijakan ke depan adalah kurangi kompensasi ini,” kata Suahasil.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, jika pemerintah memang tidak lagi memberikan kompensasi, maka perlu dilakukan penyesuaian tarif atau tarif adjustment untuk menutupi biaya pokok penyediaan tenaga listrik.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, kompensasi tarif listrik tersebut memang baru diberikan untuk tahun anggaran 2018. Hal ini terjadi karena pemerintah membatalkan pemberlakuan tariff adjustment untuk 12 golongan tarif yang tidak disubsidi.

Dengan begitu, lanjutnya, kalau mengacu pada Kepmen ESDM No. 55K/20/MEM/2019, Biaya Pokok Pembangkitan naik 9% dari periode sebelumnya. Sehingga, menurut dia, idealnya jika menimbang pada faktor ini saja, biaya pokok penyediaan tenaga listrik (BPP TL) seharusnya naik minimal 6%.

“Dengan demikian idealnya tarif listrik di 2019 lebih tinggi (perlu dinaikan) 8-10% dari tingkat tarif 2017/2018,” kata Fabby kepada CNBC Indonesia, Rabu (26/6/2019).
Beberapa waktu lalu, Plt Direktur Utama PT PLN (Persero) Djoko Abdumanan menjelaskan, pada dasarnya penetapan tarif listrik ditentukan oleh pemerintah dan DPR.

“Tapi PLN intinya mengikuti keputusan dan kebijakan pemerintah, karena kalau tarif listrik itu kan sesuai dengan arahan pemerintah,” ujar Djoko saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (21/6/2019).

Adapun, dihubungi di kesempatan berbeda, Djoko kembali menjelaskan, komponen pembentuk tarif listrik ada dua hal. Pertama, fixed cost yang dibentuk dari komponen biaya pemeliharaan, beban bunga, administrasi dan depresiasi serta ongkos kepegawaian. Sedangkan untuk Variable Cost adalah Harga Bahan Baku pembangkit dan ongkos pembelian tenaga listrik dari pihak swasta dan biaya sewa.

“BPP sangat dipengruhi oleh beberapa faktor. Teruatam kurs dan ICP. Makanya, kenapa apabila mau mengikuti tarif adjustmen maka harga bisa berubah sewaktu waktu,” ujar Djoko ketika dihubungi, Rabu (26/6/2019).

Djoko menjabarkan, contohnya saja pada Maret kemarin. Semestinya tarif listrik apabila mengikuti pergerakan penentu tarif maka PLN bisa saja membanderol tarif listrik sebesar Rp 1.348 per kWh.

Komponen terbesar dari pembentuk harga tersebut adalah bahan baku pembangkit yang sebesar Rp 558 per kWh. Selain itu, ada biaya pembelian tenaga listrik yang sebesar Rp 338 per kWh, dan ada komponen lain yang mempengaruhi tarif listrik.

Sedangkan di April, lanjut Djoko, tarif sesuai keekonomian berada di angka Rp 1.352 per kwh. Beban bahan bakar sebesar Rp 555 per kWh, sedangkan pembelian listrik dari pihak swasta naik dibandingkan Maret menjadi Rp 348 per kWh.

“Namun, masyarakat kan menikmati harga yang ditahan seperti saat ini sebesar Rp 1.132 per kwh. Selisih harga inilah yang di berikan oleh pemerintah sebagai kompensasi,” ujar Djoko.

Namun, kata Djoko, PLN juga melakukan berbagai upaya untuk bisa menghemat ongkos produksi. Penghematan dan efisiensi ini dilakukan perusahaan agar selisih harga antara harga keekonomian dengan tarif ditahan tidak terlalu besar gap nya.

“Kami juga melakukan berbagai upaya efisiensi agar gap tidak besar. Upayanya, seperti meminta DMO (domestic market obligation/DMO). Di satu sisi, juga kami melakukan manajemen pembangkit,” tuturnya.

Djoko menjelaskan manajemen pembangkit tersebut misalnya penggunaan PLTA. Apabila pada musim penghujan maka pasokan air banyak dan membuat penggunaan PLTA lebih efisien. |sumber : cnbcindonesia.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.