Potensi Kekayaan Energi Indonesia luar biasa melimpah: minyak bumi, gas, batubara, laut dan lain-lain. Namun pemanfaatannya masih jauh panggang daripada api. Semua potensi itu masih belum bisa diandalkan untuk ketahanan energi nasional. Perlu terobosan serius agar Indonesia bisa mencapai ketahanan energi nasional. Kita harus berkiblat kemana?
****
Ibarat surga, Indonesia memiliki segala jenis sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Tak salah bila Indonesia disebut sebagai lumbung energi.
Saat ini cadangan dan produksi energi Indonesia terdiri Minyak Bumi dengan sumber daya 56,6 miliar barel, cadangan 8,4 miliar barel, produksi 348 juta barel dan rasio cadangan/produksi 24 tahun. Gas bumi dengan sumber daya 334,5 TSCF, cadangan 165 TSCF, produksi 2,79 TSCF dan rasio cadangan/produksi 59 tahun.
Batubara dengan sumber daya sekitar 161 miliar ton, cadangan kurang lebih 28 miliar ton dan produksi berkisar 391 juta ton per tahun, sedangkan rasio cadangan/produksi 93 tahun. Coal bed methane (CBM) dengan sumber daya 453 TSCF. Tenaga air 75,67 GW, panas bumi 27 GW, mikro hydro 0,45 GW, biomass 49,81 GW, tenaga surya 4,8 kWh/m2/day, tenaga angin 9,29 GW dan uranium 3 GW untuk 11 tahun (hanya di Kalan, Kalimantan Barat).
Pengamat Energi Hendrajit menilai bahwa sampai saat ini pemerintah Jokowi-JK tak memiliki grandstrategy ketahanan energi nasional. Padahal menurutnya, masalah ketahanan energi sama pentingnya dengan ketahanan disektor pangan dan militer.
“Ketahanan energi sama pentingnya dengan ketahanan pangan danketahanan militer. Ketiganya ini harus terintegrasi dalamketahanan nasional,” ujar Hendrajit
Menurutnya, sekitar 80 persen sumber daya alam (SDA) Indonesia masih dikuasai oleh pihak asing. Hal ini disebabkan lemahnya pemerintah dalammelakukan negoisasi dalam kontrak pengelolaan migas dengan pihak asing.
Direktur Eksekutif Global Future Institute ini juga mengkritik kebijakan Jokowi yang sampai saat ini belum terlihat memiliki gagasan atau blueprint dalam pengelolaan migas.
“Pemerintah sekarang terlihat masih bingung. Jokowi belum melontarkan rencana induk dalam pengelolaan migas. Jika rencana itu sudah ada , tinggal buat strateginya. Harus ada prioritas. Tapu Jokowi tak bikin itu. Karena rencana induknyagak ada,” jelas Hendrajit.
Bila ditelisik, kegalauan Hendrajit memang bisa dimengerti. Kondisi sumber daya alam Indonesia terus menipis. Sementara produksi dan konsumsi cenderung tak terkendali.
Hasil studi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menyatakan, pada 2030 konsumsi bahan minyak orang Indonesia mencapai 4,1 kali lipat dari konsumsi minyak pada 2009. Produksi minyak, sementara itu, hanya sebsear dua kalilipatnya. Besar pasak daripada tiang ini akan mencapai puncaknya pada 2030,ketika produksi minyak terus turun dan kebutuhan melompat.
Bila dilihat dari temuan cadangan baru minyak bumi dalam 20 tahun terakhir, sulituntuk mengerem laju penurunan produksi minyak. Rasanya sulit bagi Indonesiauntuk kembali memproduksi minyak mencapai 1 juta barel per hari, walaupunseandainya Blok Cepu telah beroperasi maksimal.
Dengan melihat rencana pengembanganlapangan ke depan, Wood Mackenzie bahkan memperkirakan produksi minyak Indonesia akan jatuh ke level 400 ribu barel per hari pada 2020.
Dalam satu dekade terakhir, penambahan cadangan terbukti gas bumi nasional meningkat rata-rata 1,5 persen per tahun. Jika di tahun 2000 masih 94,6 TCF, pada 2009 sudah mencapai 107,4 TCF. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksinya hampir dua kali pertumbuhan cadangan terbuktinya, yaitu sebesar 2,8 persen per tahun atau meningkat dari 6,3 SCFD menjadi 7,9 miliar SCFD pada periode yang sama.
Meski sempat mencapai angka tertingginya dalam 10 tahun pada 2003, dan kemudian melandai, namun produksi gas dalam tiga tahun terakhir selalu melebihi target.
Saat ini, Indonesia merupakan produsen gas bumi terbesar kesepuluh di dunia dan terbesar kedua di AsiaPasifik. Namun demikian, pemanfaatan gas di dalam negeri belum optimal. Sekitar50% dari total produksi tersebut dialokasikan untuk ekspor, baik dalam gas alamcair (LNG) maupun gas bumi.
Inilah yang menyebabkan berapa pun peningkatan lifting gas, tidak akan banyak berpengaruh positif terhadap pasokan gas domestik. Sebab, sebagian produksi gas diekspor ke luar Indonesia. Padahal, permintaan konsumsi gas di dalam negeri terus melonjak seiring terus naiknya konsumsi minyak.
Sama seperti sektor minyak, industri gas secara keseluruhan juga ketar-ketir. Saat ini shortage pasokan gas untuk domestik diperkirakan sekitar 1.500 juta kaki kubik per hari (mmscfd) atau setara dengan 255 ribu barel setara minyak per hari, dan sejalan dengan laju permintaan gas yang didorong pertumbuhan ekonomi serta menurunnya pasokan gas existing. Maka, gap antara suplai dan permintaan gas akan semakin melebar, mengancam pertumbuhan sektor industri dan kesinambungan pasokan energi primer untuk pembangkitan listrik.
Dari gambaran Neraca Gas Nasional yang dibuat Ditjen Migas, gap antara permintaan dan suplai gas dari lapangan existing akan melebar ke level 3.500 mmscfd pada 2015 dan bertambah lebar lagi menjadi 4.200 mmscfd (sama dengan 700 ribu barel setara minyak per hari) pada 2020.
Sumber energi di dalam negeri yang tak kalah potensial adalah sektor tenaga kelautan. Indonesia memiliki garis pantai yang panjang dan dikenal sebagai negara maritim terbesar di dunia. Dengan dikelilingi oleh dua samudra besar di dunia, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, Laut Indonesia memiliki potensi untuk menghasilkan energi yang sangat besar. Apabila digali lebih mendalam, laut Indonesia paling tidak dapat dimanfaatkan dengan lima cara, yaitu : gelombang laut, pasang surut, arus laut , perbedaan salinitas dan perbedaan suhu laut. Saat ini diestimasi bahwa potensi kelautan Indonesia dapat dimanfaatkan untuk menghasilakan daya sebesar 240 GWe.
Energi gelombang laut (wave power) diturunkan dari tenaga dari gelombang permukaan yang terhempas ke garis pantai . Sedangkan energi pasang surut (tidal power) didapat dari pemanfaatan energi kinetik dari pasang surut yang terjadi. Pemanfaatan tenaga melalui arus laut dilakukan dengan mendesain turbin yang dapat diputar oleh arus deras (marine current power). Energi osmotis (osmotic power) memanfaatkan dari kadar garam di laut, Ocean Thermal Energy Convention memanfaatkan prinsip thermodinamika ketika terdapat sistem dan lingkungan yang memiliki perbedaan suhu yang cukup besar.
Sayangnya, dari potensi yang sedemikian besar, tingkat pemanfaatan energi kelautan Indonesia hanya 0,000458 %, jauh dari nilai optimal yang dimiliki. Kapasitas terpasang ini merupakan pemanfaatan energi gelombang laut di pantai Baron Yogyakarta (kapasitas terpasang 1,1 MW).
Padahal, menurut BPPT, estimasi potensi listrik dari energi gelombang di Indonesia adalah 20-70 MW/m.
Bila tak ada terobosan segera, dikhawatirkan kondisi ketahanan energi Indonesia akanterus melemah. Posisi ketahanan energi Indonesia yang telah semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir, dikhawatirkan bisa terus melorot.
Pengamat ekonomi Darmawan Prasodjo menekankan pentingnya menyelaraskan pertumbuhanekonomi dengan ketersediaan energi dan kebutuhan energi. Hal ini berkaitandengan penyediaan energi yang murah, tetapi tetap memperhatikan kondisilingkungan melalui penggunaan energi bersih. Titik keseimbangan energi harusdipilih. “Pilihan ini berhubungan dengan ketahanan dan keamanan energinasional,” katanya.
***
Krisis minyak dunia pada dekade 1970-an akibat Perang Arab-Israel 1973-1974, menjadipemantik gonjang-ganjing politik dunia. Perang ini belakangan menimbulkanrentetan peristiwa yang cukup mengharu-biru, Harga minyak dunia kemudianmelambung tinggi, yang mencapai puncaknya pada tahun 1980 dengan harga US$35per barrel ($93 per barrel saat ini). Peristiwa ini memaksa Negara-negara didunia untuk mengkalkulasi kembali ketahanan energi mereka.
Di Asia, hampir semua Negara mulai menghitung kekuatan energi mereka. Jepang,misalnya. Akibat krisis energi di sepanjang dekade 1970-an, Jepang mulaimembuat kebijakan strategis seputar ketahanan energi mereka. Pada 1980, Jepangmenerbitkan laporan “Japan’s Comprehensive National Security”.
Demikian juga dengan Indonesia. Di dalam negeri, pemerintah tampak serius memikirkan solusi krisis energi dunia. Pada 1981, pemerintah membuat Kebijakan Umum Bidang Energi. Belajar dari krisis energi pada dekade 1970-an, pengelolaan energi Indonesia telah mulai ditata. Namun demikian, Indonesia yang di masa itu masih menikmati sebagai produsen minyak, tampak tak konsisten. Walhasil, kebijakan energi nasional yang telah dikeluarkan belum menghasilkan perubahan yang berarti dalam mencapai kondisi keenergian yang positif.
Permasalahan implementasi, koordinasi dan payung regulasi masih menjadi kendala utama. Melihat kondisi demikian, pada tahun 2007 pemerintah bersama DPR mengesahkan UUNo. 30 tahun 2007 tentang Energi yang salah satu amanatnya menyusun KebijakanEnergi Nasional (KEN) yang dirumuskan Dewan Energi Nasional dan ditetapkanPemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. KEN ini akan menjadi pedoman bagiRencana Umum Energi Nasional sertaRencana Umum Energi Daerah.
Walhasil,bisa makin memperkuat ketahanan energi dengan memperkuat program konversi gas.Terutama untuk jaringan gas kota (city gas) yang selama ini jugadiharapkan, dimana plannya sudah harusselesai di tahun 2015 ini dengan membangun fasilitas SPBG di kota-kotabesar. Sekarang ini sejumlah SPBG sudah ada di daerah dan kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, danMakasar (ujung pandang), ini merupakanprogram pemerintah yang meminta Pertamina dan PGN untuk membangun infrastrukturdengan adanya SPBG.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi, memang turut mendorong laju konsumsi bahan bakar energi kian menanjak.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia mempertahankan ketahanan energi di dalam negeri? Apa yang harus dilakukan agar ketahanan energi bisa kuat?
Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri mengusulkan cara lain, yakni dengan membentuk Petroleum Fund. Dia menyarankan perlunya pungutan dana dari hasil penjualan minyak dan gas bumi untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Dana tersebut tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan sektor minyak dan gas bumi. Tujuan utama pemanfaatan dana untuk pengembangan sumber daya manusia.
“Kekayaan migas yang dieksploitasi sekarang ini sebenarnya, kan, hak anak cucu kita juga. Semakin banyak minyak dan gas bumi yang dieksploitasi, maka akan semakin sedikit bagian untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, perlu ada tabungan yang dipungut dari dana hasil penjualan migas kita atau disebut petroleum fund,” kata Faisal, saat diskusi soal Revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, di Jakarta,
Dana tersebut, imbuh Faisal, murni untuk pengembangan sumber daya manusia generasi mendatang. Ia menegaskan bahwa petroleum fund sama sekali tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan yang terkait dengan usaha hulu atau hilir migas. Ia khawatir, jika dana itu dipakai untuk pengembangan kegiatan eksplorasi akan membuka celah bagi perusahaan pemburu rente.
“Contoh bagus soal pungutan dana migas adalah Timor Leste. Seluruh penerimaan migas mereka paling besar yang dimasukkan dalam anggaran dan pendapatan belanja negara itu sekitar 20 persen. Sisanya, 80 persen, ditabung untuk pengembangan generasi muda Timor Leste,” ujar Faisal.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa sepakat dengan usulan petroleum fund. Menurut dia, ada beberapa model pemanfaatan petroleum fund dari beberapa negara. Konsep dasar pemanfaatan dana itu adalah tidak dikembalikan lagi ke sektor migas, tetapi berorientasi bagi generasi mendatang.
Sebetulnya, Indonesia bisa belajar dari China dalam hal ketahanan energi. Apalagi, karakteristik Indonesia dan China mirip. Cadangan minyak dan batubara China berada di kawasan utara dan timur laut seperti Huabie, Daqing, Shengli dan Zongyuan. Gas terletak di kawasan barat dengan geografis yang kompleks. Sementara industri dan konsumen berada di wilayah tenggara.
Ulasan menarik datang dari Dr. Bruce C. Arntzen, Senior Research Director at MIT’s Center for Transportation and Logistics, dalam artikel bertajuk “Near-Shoring/Right-Shoring Strategies: Weighing the risks of global sourcing” yang dipublikasikan kembali pada Agustus 2011 lalu.
“No discussion of this topic can be started without first looking at China,” kata Arntzen. “The emerging middle class and mass of new consumers will be a major force for change. The demand for luxury goods manufactured outside of China is going to remake the manufacturing landscape within that country. For example, a Gucci bag made in one of the local provinces is not going to have the cache of an authentic item from northern Italy.”
Arntzen mengulas, setidaknya ada empat strategi yang dipakai China dalam meningkatkan ketahanan energi mereka.
Pertama, strategi Right shoring. Dengan strategi ini, China mendekatkan industrinya ke lokasi sumber energi atau bahanbaku. Mereka membangun zona ekonomi khusus baru yang berorientasi energi di Zhuhai, Shantou, Xiamen dan Shenzen, yang semuanya berorientasi pasar dan menarik masuk investasi. Lokasi-lokasi tersebut berdekatan dengan sumber atau setidaknya dekat dengan kilang pengolah dan depot utama. Dengan demikian, waktu, risiko dan biaya akibat distribusi bisa ditekan. Tidak heran bila hasil dan nilai produksi barang-barang China lebih kompetitif dan harga murah.
Kedua, strategi Investasi dan Insentif Infrastruktur Eksplorasi, Produksi, Distribusi dan Transmisi. Dengan strategi ini, pemerintah China memberikan insentif pajak yang sangat menarik dan bunga bank sangat rendah bagi investor yang mau membangun infrastruktur energi, termasuk distribusi dari sumber ke zona industri. Tak heran bila dalam waktu relatif singkat mereka berhasil membangun pipa gas dari barat ke timur dan jalur kereta pengangkut batubara dari barat ke timur. Minyak juga berhasil dialirkan dari basis produksi di Daqing, Shengli, Liaohe dan Tarim melalui pipa ke zona industri dalam waktu relatif singkat.
Ketiga, memperbesar Inventori. Untuk menekan biaya, waktu dan risiko distribusi migas serta menaikkan stok, China menambah jumlah dan kapasitas pengangkut seperti tanker dan kereta. Kilang turut diperbesar untuk menaikkan inventori dalam rangka mengamankan cadangan energi. Saat ini China adalah negara paling agresif di dunia dalam menumpuk migas dari dalam dan luar negeri demi kelangsungan ketahanan energi dengan kapasitas 12,7 juta barel per hari. Stok migas mereka cukup untuk lebih dari 90 hari, jauh lebih tinggi dari standar OPEC. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya cukup 17 hari saja.
Keempat, Industri Manufaktur yang fleksibel. Sebagian besar industri di zona ekonomi China memiliki fleksibilitas tinggi dan tak hanya tergantung pada produksi satu komoditas. Mesin-mesin mereka bisa menyesuaikan dengan cepat jenis bahan baku untuk memproduksi tipe produk yang berlainan.
Praktisi Migas Ardian Nengkoda bahakan berpendapat bahwa harusnya kita memiliki semangat nasional dalam Migas: “Masih perlu dan berpihak dimaan yang utamanya dalam 2 hal krusial: kepemilikan pemerintah dan ketahanan energi,” ujar Ardian kepasa penulis.
Nengkoda menilai bahwa dari sisi investasi memang susah karena negara gak punya modal sementara gross split masih belum laku meski sudah mulai ada beberapa perkembangan
“Ketahanan energi: energy mix atau Bauran energi Harus jadi fokus nasional agar tidak tekor. Termasuk Harus serious mendevelop EBTKE Ketergantungan rupiah terhadap Migas. Ini perlu task force khusus bagaimana neraca keuangan bisa lebih flexible terhadap naik turun harga minyak dunia,” lanjutnya.
Fokus kilang. Ini penting sekali karena demand BBM naik terus dan import naik sementara exploration minim.
“Sebaiknya semangatnya ke 4 poin di atas,”tegasnya.
Kita tak perlu kaget saat ini China hampir bisa memproduksi semua jenis barang, termasuk industri yang menopang hulu migas. China menjelma menjadi sebuah raksasa dunia yang menandingi kedigdayaan Amerika Serikat dan Eropa. Padahal, dari sisi sumber daya alam dan manusia, China tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Indonesia punya segalanya. Sumber daya alam tersedia melimpah ruah. Ibarat pemeo, Indonesia adalah lumbung sumber daya alam dunia. Bila kita tak melakukan antisipasi maka akan terjadi tikus mati di lumbung padi. ****
AENDRA MEDITA, wartawan ENERGYWORLD.CO.ID