Home BUMN CBA: KPK Bisa Selidiki “Bau Busuk Korupsi” di TOL Cisumdawu

CBA: KPK Bisa Selidiki “Bau Busuk Korupsi” di TOL Cisumdawu

532
0
Uchok Sky Khadafi Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA).

ENERGYWORLD.CO.ID – Proyek pembangunan infrastruktur jalan tol Cisumdawu, sejatinya baru akan rampung tahun 2021 — sesuai kontrak pengerjaan. Sebaliknya obyek utama pembangunan Bandara Kertajati, justru sudah lebih dulu rampung dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 24 Mei 2018 lalu. Tapi operasionalnya tak sertamerta bisa dilakukan, termasuk sebelumnya ditargetkan penerbangan komersial mulai 08 Juni 2018. karena lintasan Cisumdawu yang diandalkan sebagai infrastruktur pendukung tak kunjung rampung.

Sudah setahun, Bandara Kertajati belum juga siap dioperasionalkan. Akibat “zero” ketersediaan transportasi publik dan kendala jarak tempuh, berdampak “membley” okupensi. Tepat setahun pula, dicoba lagi dengan menggelar 56 penerbangan reguler dalam 13 rute domestik. Transportasi ke dan dari terminal bandara disediakan gratis.

Kondisi tak lazim itu, kiranya tak bisa berlama-lama. Banyak pihak terkait jadi gerah dibuatnya. Pemerintah pusat cq. KemenPUPR turun tangan. Kabar terakhir, penyelesaian pembangunan tol Cisumdawu bakal dikebut dengan target rampung akhir 2020. Masa tunggu 1,5 tahun, tampaknya bukan waktu yang pendek untuk aktivitas dan peran bandara komersial.

Semua itu, Uchok Sky Khadafi Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA), mengatakan agar tidak ada hal yang ganjil, baiknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harusnya bisa mengendus hal ini. “Diduga banyak sekali bau busuk korupsi di proyek ini. KPK  mungkin perlu turun ke Sumedng, karena proyek ini punya  indikasi bau busuk korupsi,” ujarnya kepada ENERGYWORLD saat dihubungi Selasa 9 Juli 2019 di Jakarta.

Dari data yang ditemukan CBA dan sejumlah laporan didapat bahwa sudah akan ada rencana bagi-bagi dana yang tersimpan atau tertahan PN Sumedang. Karena ada indikasi laba kisaran 175 miliar. Dana yang sangat besar itu.

“Baiknya KPK segera selidiki dan pantau ini karena ini jelas akan merugikan negara dengan adanya jumlah dana ratusan miliar itu, jika perlu panggil Gubernur Jabar dan Bupati Sumedang segera dimintai keteranagn soal adanya dana yang tersimpan di PN Sumedang,”papar Uchok.

Tol Cisumdawu selama tujuh tahun, praktis tak ada kegiatan pembangunan fisik. Bahkan menjadi 10 tahun terkatung, tanpa “progress”. Baru 2014 dimulai kegiatan pembersihan lahan dan pembangunan fondasi. Bahkan pada 2016 sempat diambil-alih oleh pemerintah pusat, sebelum di antaranya menggandeng Pemprov Jabar melalui sistem pembiayaan BUMD baru (Perda no. 22 tahun 2013) dengan nama PT BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) yang tentu saja dengan penyertaan modal dari pemprov.

Jalan mulus kian tampak. Proyek pembangunan Bandara Kertajati dimasukkan dalam Program Strategis Nasional (PSN) melalui anggaran Kemenhub 2015-2017. Selanjutnya ditindaklanjuti kerjasama sistem kelola (“joint venture”) Pemprov Jabar via PT BIJB dengan PT Angkasa Pura II berikut kepemilikan saham setara 60%, dan selebihnya (40%) disiapkan bagi pihak lain. “Groundbreaking” dilakukan awal 2016. Praktis dalam tempo kurang dari 2,5 tahun, Bandara Kertajati rampung dan siap dioperasionalkan.

Tulisan Imam Wahyudi di media ini memperjelas bahwa proyek Tol ini terkesan “kejar tayang”, Bandara Kertajati yang (kesiapan) pengoperasionalannya terkendala — sempat menuai kritik. Tak kurang dari Wapres Jusuf Kalla berpendapat, uji kelaikan tak bagus. “Tanpa kajian mendalam,” katanya.

Bila meruntut perjalanan dan prosesnya, kehadiran Bandara Kertajati pantas dicatat sebagai capaian prestasi pembangunan Jawa Barat. Keberadaannya bisa menjadi poros kebutuhan transportasi udara warga provinsi berpenduduk lebih dari 40 juta, yang mencakup tiga kawasan: Cirebon Raya, Bandung Raya dan Bodebekkapur (Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, Purwakarta).

Tercatat sebagai bandara (internasional) terbesar di Indonesia, setelah bandara Soekarno-Hatta — Bandara Kertajati yang dibangun di atas lahan (termasuk pengembangan) seluas 1.800 hektar ini dilengkapi “aero city” sebagai kawasan penunjang operasional bandara (seluas 3.480 hektar). Landasan pacu sepanjang 3.000 meter dan lebar 60 meter dimungkinkan pendaratan dan lepas landas pesawat bersayap lebar rute mancanegara. (baca: https://energyworld.co.id/2019/07/04/serba-serbi-bandara-kertajati-merana-bagian-1/)

Terlebih lagi bahwa sejak 1 Juli 2019 kemarin, bak “separuh dipaksakan” — sejumlah 56 penerbangan di “take-off” dari bandara di kawasan timur Jabar itu. Alih-alih sukarela seperti umumnya calon penumpang — daya pikat bandara bak terkapar di awal, sebelum unjuk mekar.

Pengelola “putar otak” dengan menggratiskan biaya transportasi ke dan dari bandara masa depan itu. Dimaklumi, dengan merujuk lokasi bandara Husein Sastranegara di Bandung — maka untuk bergeser ke terminal di Bandara Kertajati — harus lebih dulu melintas jarak tempuh 150 km lewat jalan tol Purbaleunyi dan Cipali alias melambung.

Butuh waktu tempuh tak kurang 3,5 – 4 jam. Itu pun, bila kondisi lalulintas lancar. Belum lagi spasi waktu “check in” dan “boarding” yang butuh sekitar dua jam. Artinya penumpang butuh waktu (relatif) awal selama enam jam, seblm benar2 “take off” pesawat.

Ditambahkan Uchok bahwa ini jelas ada yang aneh, infrastruktur belum beres tapi Bandara lebih dulu beres.

“Jadi baiknya semua harusnya di evaluasi lagi, takutnya jumlah kerugian negara makin besar,” tandanya. |AME/EWINDO

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.